Krayan: Mengungkap Jejak Peradaban dari Tinggalan Arkeologi Batu

Penampakan tinggalan arkeologi batu di Long Mutan, Krayan Tengah.

Tinggalan arkeologi di bumi Krayan menunjukkan manusia yang bermukim di sana telah sangat tua. Asumsi sementara, jauh lebih tua usianya dibandingkan dengan tinggalan arkeologi sebagai produk budaya dan tacit knowledge penghuninya.

Mochtar Lubis dalam bukunya yang menghebohkan Bangsa Indonesia (Jakarta, Yayasan Idayu (1980)  mencatat bahwa jejak peradaban Nusantara tidak semuanya dapat untuk ditelusuri. Hal itu karena tidak semua sukubangsa di Nusantara mempunyai budaya menulis (di daun lontar), mengukir (di dinding gua atau permukaan batu). Jika pun ada maka hasil yang menunjukkan jejak peradabannya tidak sambung-menyambung menjadi satu kesatuan narasi. Lepas-lepas. Sedemikian rupa, sehingga tidak mudah untuk direkonstruksi.

Tidak demikian halnya dengan manusia penghuni sungai Krayan. Buku-tua yang melabeli penduduk Borneo "Pagan" telah mencatat penduduk wilayah ini sebagai manusia Kerayan. 

Siapa yang dimaksudkan dengan “manusia penghuni Sungai Krayan?”

Kiranya jawaban atas pertanyaan itu telah selesai. Narasi yang cukup lengkap dapat ditemukan dalam buku setebal 320 halaman. Pustaka karya dua putra Dayak yang diterbitkan oleh Lembaga Literasi Dayak (2022). 

Akan tetapi, jawaban yang mungkin memuaskan tentu saja, bergantung kepada “kapan”? atau pfase yang mana? Apakah manusia penghuni Sungai Krayan zaman prakemerdekaan? Masa Indonesia Merdeka? Zaman Konfrontasi? Zaman Reformasi? Atau masa kini?

Krayan terletak di hamparan ketinggian dataran tinggi Borneo antara 900-1.100 MDPL. Seiring dengan perubahan sosial dari masa ke masa, manusia penghuni Sungai Krayan juga berdinamika. Jika pada masa prasejarah, hingga dekade 1970-an, manusia penghuni Sungai Krayan adalah komunitas yang homogen. 

Mereka memiliki peradaban yang cukup tinggi, terbukti dari temuan artefak berupa peninggalan alat-alat pertanian, teknologi pertanian, serta tempayan batu yang ditemukan di desa Long Mutan dan di Long Padi, Krayan Tengah. Demikian juga kuburan kuno nenek moyang manusia Sungai Krayan di Tang Payeh yang mengindikasikan bahwa kebudayaan batu telah dikenal nenek moyang sejak zaman dahulu kala.

Lalu pada zaman prakemerdekaan, datang Misi The Christian Missionary Alliance (CMA) pada tahun 1929 ke bumi Krayan. Ketika itu, telah dikenal adanya 5 klan utama manusia penghuni Sungai Krayan, yakni: Lengilo’, Tanah Lun, Nan Ba’, Puneng Krayan atau Fe’ Ayan, dan Sa’ban. Tiap-tiap klan, yang kemudian hari berkembang menjadi sub-etnis Dayak LunDayeh makin lama semakin bertambah. Seiring dengan waktu, mereka “menguasai” tanah adatnya masing-masing.

Pada masa Indonesia Merdeka, isolasi dan keadaan bumi Krayan, dibandingkan dengan kondisi yang sekarang, tidak banyak  berubah.  Menurut  penuturan para tetua yang masih hidup, di samping karya negara, maka kehadiran Misi dan yang relatif banyak “mengangkat derajat hidup” masyarakat lokal. Hampir seluruh lapangan perintis di Perbatasan, semuanya dibidani dan dilayani oleh Penerbangan MAF (Mission  Aviation Fellowship). Ini adalah sebuah armada penerbangan yang dilayani oleh Misi. Memang sangat tidak enak untuk memaparkan hal seperti ini, akan tetapi itulah fakta yang sebenarnya.

Telah mulai banyak penduduk setempat yang mengenyam pendidikan berkat karya serta fasilitas yang diberikan Misi. Hasilnya adalah para guru dan pendeta. Mereka ini adalah para agen pembaruan di bumi Krayan nantinya.

Pada zaman konfrontasi dengan Malaysia, wilayah Krayan menjadi basis pasukan Indonesia dalam rangka memenuhi pekik “Ganyang Malaysia”  yang  diserukan oleh Bung Karno. Pada 27 Juli 1963, Bung Karno mengumumkan gerakan melawan Malaysia yang terkenal dengan “Ganyang Malaysia”. 

Seruan terbuka konfrontasi dengan Malaysia ini bergulir dengan cepat. Dalam sebuah rapat akbar di Jakarta 3 Mei 1964, Presiden Soekarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora). Pekik perang yang diserukan Bung Karno ini didukung oleh Soebandrio, Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Indonesia sekaligus Pimpinan Komando Pertahanan Daerah Perbatasan (Koperdasan). 

Pada 2 Desember 1963, Soebandrio tiba di Pontianak dengan misi khusus menemui Azahari dan Yap Chung Ho, serta kawan-kawan dari Partai Komunis Sarawak (PKS) yang dikenal dengan Advance Youth Association, Kuching, Sarawak.

Menindaklanjuti pertemuan tersebut maka kelompok Azahari dan Yap dilatih oleh Badan Pusat Intelijen (BPI) Bogor. Sikap simpati dan bersahabat Pemerintah Orde Lama dengan Pasukan Gerilya Sarawak dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PGRS)/Paraku terkait dengan kebijakan luar negeri Indonesia dalam rangka menyukseskan gagasan Bung Karno membentuk poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Beijing-Pyongyang yang berkiblat ke Blok Timur dan menentang Blok Barat yang dinilai imperialisme.

Krayan terletak di hamparan ketinggian dataran tinggi Borneo antara 900-1.100 MDPL. Seiring dengan perubahan sosial dari masa ke masa, manusia penghuni Sungai Krayan juga berdinamika. Jika pada masa prasejarah, hingga dekade 1970-an, manusia penghuni Sungai Krayan adalah komunitas yang homogen. Kondisi kini di era keterbukaan akses jalan dan informasi, tidak lagi demikian.

Seperti yang dicatat oleh Kadarusno (1973), pertemuan tersebut melahirkan kesepakatan untuk membentuk PGRS/Paraku. Penduduk Krayan wilayah perbatasan dilibatkan untuk membantu dan melancarkan strategi pasukan perang Republik Indonesia. 

Sebagai basis pasukan gerilya, wilayah Krayan pada saat Konfrontasi boleh dikatakan tidak bisa membangun akibat energi dan sumber daya tercurah untuk membantu gerakan. Hingga kini, masih banyak ditemukan veteran perang Ganyang Malaysia di bumi Krayan.

Pada Zaman Reformasi, bumi Krayan mengalami perubahan yang cukup berarti dengan dimekarkannya kabupaten Bulungan menjadi kabupaten baru. Adalah jasa RA Bessing, bupati Bulungan, yang dengan penuh semangat serta pandangan jauh menjangkau ke depan membuka kabupaten baru, di antaranya Kabupaten Malinau dan Kabupaten Nunukan. Mulailah, seiring dengan pemekaran kabupaten baru itu, penduduk setempat mengambil kesempatan di dalam tata kelola pemerintahan dan ambil bagian sebagai pelaku pembangunan setempat.

Pada masa kini, wilayah Krayan telah lepas dari kungkungan isolasi selama Ratusan tahun dengan dibukanya jalan lingkar Krayan; dari Lingkar bagian Selatan Ba’ Binuang - Long Layu – Lembudud – Long Bawan. Kemudian Lingkar Utara dari Ba’ Binuang – Ba Liku - Long Umong -  Long Bawan yang semua tembus dari Long Bawan – Long Midang ke Ba Kelalan, Malaysia Timur.

Selain itu, jalan darat juga tembus dari Ba’ Binuang Kabupaten Nunukan – ke Malinau Kabupaten Malinau yang telah mulai dibuka ketika era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dengan dibukanya akses jalan darat tersebut, meskipun belum diaspal, namun telah mengubah wajah Krayan termasuk perubahan sosial akibat dinamika pembangunan yang masuk ke wilayah ini.

Melihat sekilas perubahan sosial dari masa ke masa seperti dipaparkan di atas, kita sepakat bahwa jawaban atas pertanyaan, “Siapa manusia sungai Krayan?” sangat bergantung kepada dinamika pentahapan perubahan sosialnya. Buku yang sedang Anda pegang ini, fokus pada “jejak peradaban manusia sungai Krayan”.

Sebagaimana halnya jejak pada umumnya, maka kita harus menelusuri apa narasi atau realitas sosial di balik apa yang tampak (artefak, peninggalan sejarah, mitos, dan legenda). Sebagai contoh, artefak batu tabau, peninggalan sejarah yang terdapat di desa Long Mutan, Krayan Tengah, secara kasat mata adalah batu yang dipahat biasa-biasa saja. Namun, begitu kita mengetahui proses dibuatnya batu tabau dan fungsinya pada saat itu maka kita akan mengagumi betapa tinggi peradaban manusia pada masa itu. 

Batu tabau adalah teknologi yang membantu manusia secara presisi pada zaman itu untuk mengetahui kapan siklus pertanian/peladangan harus dimulai agar mendapatkan hasil yang optimal. Dengan mematok penunjuk arah matahari, batu tabau menjadi semacam “teknologi pertanian” yang apabila direnung dan dipikir-pikir: betapa majunya pemikiran nenek moyang dahulu kala di masa itu.

Apakah teknologi sederhana batu tabau ini tacit knowledge ataukah explicit knowledge? Menurut hemat kami, tidak kedua-duanya! Sebab apabila tacit knowledge maka pengetahuan (kebijaksanaan) itu tidak secara eksplisit dinyatakan dalam minimal suatu media. Ia hanya pengetahuan-diam masyarakat yang diturunkan dari generasi ke generasi. Sebaliknya, ia bukan pula explicit knowledge karena tidak dituliskan secara sistematis, metodis, dan koheren dengan kaidah-kaidah ilmiah.

Di sanalah buku Jejak Peradaban Manusia Sungai Krayan menemukan tempat perkara dan mendapatkan konteks-nya. Suatu temuan awal yang masih perlu untuk ditelusuri lebih jauh dan disempurnakan, agar esensi, realitas yang purna (sensus plenior) dari apa yang kami sebut dan kategorikan sebagai “jejak peradaban”, terungkap melalui suatu usaha hermeneutika sehingga gap antara masa lampau dan masa kini dapat dieliminasi atau sesedikit mungkin terdapat bias di dalamnya.

Jejak adalah clue (petunjuk) untuk membangun narasi atau realitas sosial di balik artefak tersebut. Itulah yang coba kami lakukan. Sebagaimana halnya riset sejarah, tidak bisa dihindari adanya penafsiran dari penulis. 

Akan tetapi, bukan sembarang penafsiran, melainkan penafsiran secara bertanggung jawab. Kami (Dr. Yansen dan Masri Sareb Putra) melakukan rekonstruksi sosial, melakukan riset (survei) ke lokus penelitian, serta menjalankan serangkaian wawancara dengan tokoh masyarakat, narasumber, dan saksi-sejarah. 

Informasi yang didapat pun dipilah-pilah, dikategorikan mana yang masuk akal, valid, dan dapat dipertanggungjawabkan. Sedemikian rupa, sehingga penulisan buku ini tidak ubahnya seperti permainan Scrabble: menyusun huruf-huruf yang terpisah satu sama lain, menjadikannya sepatah kata, sepatah kata menjadi frasa, frasa menjadi kalimat, kalimat menjadi alinea, dan seterusnya.

LihatTutupKomentar