Tumbang Anoi 1894 sebagai Literasi Politik Dayak

Penampakan Pertemuan Daiam Tumbang Anoi, Literasi Politik suku bangsa Dayak, 1894. Repro Rmsp.

Literasi.
Dapat dimaknai sebagai: melek, tercelik, sadar, tahu, paham, mengerti, cerdas, pintar.

Demikialah kita dapat mematok literasi politik Dayak terjadi pada 1894. Tatkala kompeni Hindia Belanda yang coba menerapkan politik menguasai tanah Jawa dengan "divide et impera" tidak berlaku di Borneo, yang sukubangsa atau penduduknya saling kayau.

Maka kompeni HIndia Belanda menerapkan taktik menguasai orang Dayak sebaliknya: salt starvation. Yakni menyatukan sukubangsa yang "haus darah", saling kayau, untuk kemudian dikuasai.

Taktik itu terbukti keliru! Alih alih menguasai Dayak. Kompeni Hindia Belanda justru mencatat dalam sejarah apa yang oleh para cerdik cendikia disebut "unintended consequences". Yakni dampak atau akibat yang tidak-diniatkan-terjadi dari desain dan perbuatan rekayasanya. Pada narasi yang lain nanti semua itu akan dibahas. Misalnya, bagaimana Kompeni Hindia Belanda telah gatot, gagal total, menguasai Dayak meski persiapan 6 bulan dan pelaksanaan pertemuan 3 bulan telah memakan waktu, tenaga, dan juga jutaan gulden habis.

Itulah tadi, sekali lagi, unintended consequences. Yang kemudian berdampak secara lambat laun pada budaya Dayak, hingga detik ini.

Adat budaya Dayak yang sebelumnya dipraktikan melalui Hakayau, Habunu, Hatetek, dan Ha-Jipen; serta merta dihentikan di atas muka bumi pada tahun 1894 di Tumbang Anoi.

Hal ini bukan saja peristiwa sejarah dan budaya, melainkan juga dapat dikatakan sebagai “Hari Kebangkitan Dayak”. Sebab pada waktu itu datang ke Tumbang Anoi, sebagai lokus diselenggarakannya pertemuan, datang berbagai wakil dan golongan. Mereka mewakili masing-masing klan dan suku bangsa Dayak sedunia.

Siapa sajakah mereka, wakil dan utusan masing-masing klan Dayak yang berpartisipasi dalam Perjanjian Damai Tumbang Anoi? Dari catatan sejarah, kita mengetahui jumlah utusan resmi yang datang ke pertemuan sebanyak: 138 orang. 

Selain topik 4-H menjadi agenda utama pertemuan, maka yang relevan dengan buku kita ini adalah terkait dengan Adat Budaya. Pada Ikhtisar Hasil Kesepakatan Pertemuan Tumbang Anoi (Usop hlmn. 218-219) Kesepakatan forum peserta pertemuan tentang Hukum Adat ada 10 butir, setelah butir 1 mengenai Hakayau dan Hajipen, maka butir 2 sebagai berikut.

2. Hukum adat Dalam rapat berkesempatan pula dibahas soal hukum adat yang ditambal. Semua ditetapkan dan diteguhkan supaya hukum adat yang ada selalu dapat dipergunakan dan menjadi ketetapan umum di kalangan masyarakat Dayak. 

3. Tiap orang yang membunuh harus membayar sahiring dan biaya tiwah ditanggung oleh orang yang bersangkutan. 

4. Jangan mengganggu rumah tangga orang lain, dan jika masih terjadi juga akan dikenakan denda berat. 

5. Jangan melakukan kejahatan dan merampok barang orang lain, karena tidak ada usaha lain. 

6. Tiap orang harus mempunyai rumah sendiri supaya aman.

7. Tiap rumah tangga harus membayar pajak kepada Pemerintah Belanda. 

8. Jangan melanggar adat kepatutan kepada anak keluarga dekat seperti adik, kakak, bapak, kakek, dsb. 

9. Jangan mengambil isteri orang lain. 

10. Dalam perkara antara keluarga Damang Batu dengan pihak Tamanggung Awan dari Tanah Siang, Nyai Rantai telah menyerahkan sebuah belanga yang disebut "tende bunu" (yang berarti semua pembunuhan dihapuskan) sebagai tanda penyelesaian damai. Sebelumnya, diceritakan bahwa hadir dalam sidang itu, Raden Johannes. Damang Batu, Tamanggung Tawa, dan Tuan Berson (Belanda) dan Tuan Branni dari Perancis yang ikut menyaksikan. Tamanggung Tawa keberatan hadirnya orang Belanda, sementara Damang Batu dan Raden Johannes tidak setuju jika sidang sampai dibatalkan, sehingga sesuai dengan peraturan adat maka pihak Belanda terpaksa menyerahkan Nona Mariam sebagai saudara Damang Batu.”

Adat budaya Dayak yang sebelumnya dipraktikan melalui Hakayau, Habunu, Hatetek, dan Ha-Jipen; serta merta dihentikan di atas muka bumi pada tahun 1894 di Tumbang Anoi. Itulah tadi, sekali lagi, unintended consequences. Yang kemudian berdampak secara lambat laun pada budaya Dayak, hingga detik ini.

Apa yang dapat dikatakan setelah membaca dan mempelajari dengan saksama kesepakatan seluruh warga Borneo yang diwakili oleh 138 peserta pertemuan, terkait dengan Hukum Adat?

Kesan yang pertama adalah bahwa butir-butir kesepakatan bersifat mengikat dan merupakan isi dari jiwa dan semangat masyarakat Dayak pada waktu itu. Hukum Adat Dayak adalah untuk masyarakat Dayak yang hidup di dalam, sekaligus menjalankan hukum adat yang bersangkutan. Adapun butir-butir Hukum Adat, sudah tentu merupakan “saripati” dari diskusi dan debat panjang yang dirangkum ke dalam butir-butir. Sedemikian rupa, sehingga menjadi kesepakatan yang mengikat. 

Apabila dicermati dengan saksama, meskipun orang Dayak pada waktu itu mayoritas menganut Agama Asli, akan tetapi butir-butir Hukum Adat yang ditelurkan pada pertemuan itu mirip dengan “10 Perintah Allah” dalam Alkitab Agama Kristen yang dikenal pula sebagai The Ten Commandments atau Dekalog (deka =10, log  = perkataan, sabda).

Menjadi pertanyaan: Apakah ada pengaruh Kristen (melalui kaki tangan kompeni Hindia Belanda dan Damang Yohanes) atas butir-butir kesepakatan Hukum Adat? Kita tidak dapat berandai-andai demikian, sebab musykil untuk dibuktikan. Yang pasti bahwa kebenaran itu bulat, ada di mana-mana. 

Nilai itu universal, sedemikian rupa, sehingga berlaku untuk suku bangsa di mana pun di muka bumi ini. Bahwa memang ada kemiripan adat budaya, sudah pasti, oleh karena kesamaan nilai tadi. Akan tetapi, tiap-tiap suku bangsa memiliki ciri khasnya sendiri yang menjadi pembeda atau identitasnya. 

Apabila kita menganut konsep bahwa “Setiap peraturan lahir dari perbuatan dan praktik hidup sehari-hari yang mengatur pola pikir dan tingkah laku suatu masyarakat” maka Hukum Adat Dayak yang disepakati dalam Perjanjian Tumbang Anoi lahir dalam alam adat budaya manusia Dayak sendiri.

Oleh karena itu, Pertemuan Damai dan Persatuan Dayak yang berlangsung di Tumbang Anoi pada tahun 1894 sangat penting di dalam tonggak sejarah adat istiadat dan budaya Dayak. Betapa tidak! Sebab dalam pertemuan yang berlangsung 22 Mei 1894-24 Juli 1894 itu, disepakati selain untuk menghentikan 4-H, juga tonggak lahirnya Hukum Adat Dayak. 

Integrasi dalam konteks sosial-kemasyarakatan adalah keterikatan individu dengan masyarakat yang lebih besar dan biasanya diukur dalam hal peran pekerjaan, organisasi, dan masyarakat. 

Istilah “integrasi” berarti tindakan menyatukan dua hal atau lebih. Integrasi mengacu pada pemantapan konsep dasar, fakta dan pengetahuan yang terkait dari bagian-bagian yang dapat dikenali menjadi satu kesatuan selama proses sosial berlangsung.

Demikianlah Tumbang Anoi 1894 dalam perspektif sejarah sosial Dayak. *)


LihatTutupKomentar