Literasi Dayak

Literasi, Dayak, Fridolin Ukur, Korrie Layun Rampan, Suwido Limin, Yansen TP, Batu Ruyud, Yupa, Budi Miank, Usop,Ding Ngo, Tjilik Riwut, Jim Collins

 

Batu Yupa dan Batu Ruyud: Dayak Menulis “Dari Dalam”.

Dayak Menulis dari Dalam

Agaknya, itu rumusan yang pas untuk menggambarkan seluruh rangkaian mulai dari gagasan, proses kreatif, penulisan, hingga publikasi kanal berita dan informasi kita ini.Yang secara aklamasi diberi nama: Literasi Dayak

Bagaimana ia menjadi seperti ini, silakan telusuri rekam jejaknya yang berkut ini: About 

Membahas literasi Dayak, prasasti atau batu Yupa agaknya menjadi tonggak sejarah pertama. Bahwa literasi sebenarnya telah menjadi budaya. Dan dikenal luas di seantero Varuna-dvipa, nama pulau terbesar ke-3 dunia dengan luas  743.330 km² ini sebelum para pelancong dari luar (Eropa dan Amerika) menjejakkan kaki di sini. Mereka menamai pulau ini dengan “Borneo”. Kemudian baru Kalimantan.

Penampakan rupa prasasti Yupa, dapat dilihat di atas ilustrasi narasi ini. Di tengah-tengahnya adalah lambang Literasi Dayak, dengan tulisan merah dan biru. 

Merah melambangkan keberanian, keutamaan, ketegasan. 

Sedangkan biru melambangkan ketinggian, kemuliaan, kehebatan, kedigdayaan. Burung enggang adalah simbol Dayak, meski ada subsuku yang simbolnya adalah buaya yakni Lundayeh Idi Lunbawang. Kita mengambil simbol dari yang mayoritas.


Sementara gambar paling bawah ilustrasi kita ini adalah Batu Ruyud. Yang proses kreatifnya hingga menjadi seperti saat ini akan dinarasikan tersendiri nanti. Lokusnya di areal perkebunan, persawahan, dan hutan virgin milik Dr. Yansen TP, M.Si. di Ba' Binuang, tepi Fe' Milau, Kecamatan Krayan Tengah, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara.


Suasana Peluncuran dan Bedah Buku ini pada Minggu (12/1/2020) di Bangabak, Kuala Lapang, Kecamatan Malinau Barat. kredit gambar: Tribunnews.com

“Dayak menulis” dimaksudkan orang Dayak yang menulis tentang dirinya sendiri. Sedemikian rupa, sehingga konten yang ditulisnya itu mendekati kebenaran yang ditulisnya. 

Kebenaran adalah bagaimana indera manusia menangkap suatu objek sesuai dengan objek itu sendiri. Misalnya, nasi adalah kumpulan butir beras yang telah dibuang dan dibersihkan dari kulit padi, dicuci, ditanak, mempunyai ciri: lembut, beraroma khas, dan merupakan makanan pokok orang Indonesia. 



Narasi mengenai nasi ini jika kita inderai faktanya; maka begitulah rupa/ fakta nasi. Itulah kebenaran! Yakni keseuaian antara narasi (persepsi) dengan suatu objek yang digambarkan.

Sesungguhnya, di Borneo pada waktu bersamaan, terbit juga buku-buku yang membahas serta menarasikan konten alam, budaya, dan penduduknya. Namun, bukan sejarah sosial dan atau sejarah suatu kaum/ klannya. 

Telah ada buku, atau narasi yang ditulis dari dalam. Akan tetapi, sebagai sebuah gerakan literasi; belum sama sekali. Sebagaimana halnya senarai sastrawan Dayak yang coba dihimpun, sebagai sebuah gerakan sasta Dayak, oleh Korrie Layun Rampan dan Masri Sareb Putra.



Baca juga: Sastrawan Dayak

Kita dapat mengingat beberapa penulis Dayak dan karya literasinya sebagai berikut.
  1. Ding Ngo yang menulis tentang Lawe, tokoh epos orang Kayan. Buku-buku syair Lawe ini terdiri atas 7 jilid. Kini disimpan di perpustakaan Universitas Gadjahmada, Jogjakarta.
  2. Tjilik Riwut. Tidak syak lagi. Pahlawan dan gubernur Kalimantan Tengah (1959-1967) ini salah satu tokoh literasi Dayak. Riwut bukan hanya wartawan. Ia juga dikenal, dan berjasa, karena banyak menulis, menarasikan Dayak dan Kalimantan “dari dalam”. Kita dapat menyebut beberapa buku penting karyanya, antara lain: Makanan Dayak (1948), Sejarah Kalimantan (1952) Manaser Panatau Tatu Hiang (1965), dan Kalimantan Membangun (1979).
  3. Fridolin Ukur. Doktor, seorang pendeta yang suka mengenakan peci hitam ini bukan saja penulis, melainkan juga sastrawan Indonesia ternama. Bukunya yang penting, menjadi salah satu yang banyak diacu dan dikutip, adalah hasil publikasi atau konversi disertasinya menjadi buku Tantang Djawab Suku Dayak (1971). Buku ini edisi populer yang mengutip kembali penggolongan suku Dayak oleh para penulis barat sebelumnya seperti Mallinckrodt (1928).
  4. Prof. Usop, seorang budayawan dan intelektual dari Kalimantan Tengah. Banyak menulis dan publikasi serta diudang ceramah ke mana-mana membawakan topik seputar Dayak dan kebudayaannya. Salah satu buku babon yang ditulisnya adalah Pakat Dayak (1996).Baca artikel terkait Prof. Usop Dan Pakat Dayak
  5. Korrie Layun Rampan, “kardinal sastra Indonesia” pantas disebut sebagai tokoh yang mementaskan Dayak ke luar pulau. Di Jogjakarta, sembari kuliah, Korrie telah giat di sebuah bengkel penulisan kreatif. Lewat novel berlatar Dayak, Upacara yang memenangkan sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta (1976), Jakarta Korrie semakin mengukuhkan ketokohannya sebagai pegiat literasi Dayak yang mumpuni. Sedemikian rupa, sehingga menyebut sastra dan literasi Dayak tanpanya, terasa ada yang kurang.
  6. Masri Sareb Putra, dengan novel sejarah (historical novel) berlatar Dayak Ngayau (2014) dan Keling Kumang (2015).

Novel Dayak oleh Dayak menjadi perhatian dunia.

Masih ada lagi pegiat literasi (kita menyebutnya demikian) dari dalam Dayak, seperti Vedastus Ricky yang menerbitkan skripsinya.


Budi Miank


Arkeologi tinggalan batu banyak terdapat di sepanjang Sungai Krayan. Tersebar, secara cukup teratur di lokus-lokus yang menjadi kampung lama zaman dahulu kala dan pekuburan tua. Selain Tinggalan batu, terdapat guci yang di dalamnya disimpan tulang belulang dan tengkorak manusia.

Literasi Dayak adalah bagaimana orang Dayak membaca, menulis, menyediakan bahan bacaan, publikasi, dan menjadi "melek" di berbagai bidang kehidupan karena membaca dan menulis. Atau belajar dari sumber tertulis dan tidak tertulis di sekitarnya untuk hidup.

Identitas Dayak yang diakui melalui sejarah, proses kreatif, penulisan, serta publikasi. Sejarah literasi Dayak dimulai dari prasasti Yupa, yang mengisyaratkan bahwa literasi telah menjadi budaya sebelum kedatangan pelancong Eropa dan Amerika. 

Yang Mesti Dilakukan

Pendidikan literasi Dayak perlu ditingkatkan di sekolah-sekolah dan masyarakat agar masyarakat Dayak lebih terampil dalam baca-tulis.

Kongres Internasional Literasi Dayak I berpotensi besar untuk menjadi gong eksistensi literasi Dayak di abad milenial. Hal ini akan menjadi platform penting untuk berbagi pengetahuan, diskusi, dan kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan literasi Dayak. 

Baca Juga: Labeling "Dajak" Di Masa Lalu

Kongres ini dapat membuka peluang baru, memperluas jaringan, dan menginspirasi lebih banyak orang untuk terlibat dalam literasi Dayak. Keberhasilan kongres ini dapat membawa literasi Dayak ke tingkat global dan memberikan dorongan besar bagi pengembangan literasi Dayak ke depan.

Dari perspektif sejarah, suku Dayak memiliki peran penting dalam budaya dan sejarah Indonesia. Artefak-artefak seperti Batu Yupa dan prasasti Batu Ruyud adalah bukti keberadaan budaya dan kearifan Dayak yang telah ada sepanjang masa. 

Andaikata Suwido dan pakar Dayak lainnya di komunitas Dayak dapat lebih aktif dalam menulis dan mempublikasikan temuan dan pengetahuan mereka, hal dapat menghasilkan manfaat yang lebih besar.

Jika Dayak, seperti Suwido Limin, lebih aktif dalam menulis dan mempublikasikan pengetahuan mereka, ini bisa membuka berbagai peluang positif. Kita akan punya dokumen, catatan sejarah, yang abadi sepanjan masa. 

Kolaborasi dan Menjadi Narator utama Dayak

Untuk maju, berkembang, serta beradaptasi, bukan zamannya lagi kompetisi, melainkan kolaborasi. Inilah yang dimainkan para praktisi, pegiat, serta pekerja kata di jagad literasi Dayak saat ini.

Literasi Dayak adalah sebuah realitas yang ada, sedang berkembang, dan terus maju, dan kesuksesannya tidak hanya bergantung pada dukungan "dari dalam." Penting untuk diingat bahwa orang-orang non-Dayak pun, yang memiliki kepedulian terhadap kekayaan budaya dan potensi suku asli di Pulau Borneo ini, juga turut serta dalam mendukungnya. Kontribusi mereka sangat berharga dalam menjaga dan memajukan Literasi Dayak.



Suwido Limin: sayang tidak menulis dan publikasi.


Contoh nyata dari dukungan ini dapat ditemukan dalam berbagai bentuk, seperti dalam desain cover buku. Desainer dari luar komunitas Dayak turut memberikan ide, panduan, motivasi, dan bahkan kritik konstruktif yang membangun. Mereka membantu menyigi sudut pandang yang berbeda. Sekaligus memperkaya karya-karya literasi yang berkaitan dengan Suku Dayak. 

Ini adalah contoh nyata bagaimana kerja sama lintas budaya dapat memberikan kontribusi positif yang signifikan dalam mempromosikan budaya dan kearifan lokal. Sekaligus memperkuat keberagaman dan kekayaan budaya Indonesia secara keseluruhan.

Dayak zaman now. Dengan populasi sedunia 8 juta. Harus aktif menulis di era digital. Literasi dasar (baca-tulis) yang telah terbangun sejak era 1970-an, hari demi hari, terutama era digital; mestinya kian menjadi habitus.


Hari ini, Dayak jangan (lagi) mengutip; melainkan dikutip. Tidak lagi dicitrakan orang luar; namun mencitrakan diri. Dan menulis "dari dalam".

Di era digital, media dan konten online menjadi sumber utama informasi bagi banyak orang. Sayangnya, banyak narasi dan citraan tentang suku Dayak telah dibentuk oleh pihak luar yang mungkin tidak sepenuhnya memahami budaya, sejarah, dan identitas sejati mereka. 

Oleh karena itu, para pegiat literasi Dayak berinisiatif Mendeklarasikan Literasi Dayak di Batu Ruyud, Krayan Tengan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Di sinilah lahir banyak ujud, atau bentuk, literasi. Sekadar menyebut contoh adalah kelahiran buku dengan rekor MURI. 

Iru adalah suatu capaian buku keluarga yang pernah ada di dunia yang ditulis oleh satu keluarga besar dengan bilangan penulis terbanyak yang pernah ada, yakni: 29 anggota keluarga. Mulai dari yang termuda 9 tahun hingga yang tertua 63 tahun.Hidup bersama Allah Jadi Produktif adalah judul buku yang mendapat penghargaan MURI itu yang diterbitkan Bhuana Ilmu Populer, salah satu entitas dari Kompas Gramedia Grup.

Baca Juga : Krayan Mengungkap Jejak Peradaban Dari Tinggalan Arkeologi Batu 

Batu Ruyud ini juga mencatatkan diri sebagai "Writing Camp" pada tahun 2022. Diikuti para penulis, sastrawan, dan pegiat literasi nasional. Di sini pulalah digagas dan dideklarasikan Literasi Dayak oleh para tokoh dan pelaku literasi Dayak yang secara khusus diulas dalam satu narasi tersendiri.

Dari manakah kita mulai menancapkan tonggak yang menjadi awal mula sejarah literasi Dayak? 

Jika kita meyakini bahwa Kudungga adalah penduduk asli pulau Varuna-dvipa, nama Kalimantan sebelum Borneo, putra maharaja Mulawarman yang mendirikan prasast Yupa, maka inilah awal tonggak jejak literasi Dayak itu. Tarikh yang diketahui adalah sirka ujung abad ke-4 M atau abad 5 M.

Seperti diketahui. Yupa adalah prasasti yang terdapat di Muara Kaman, suatu wilayah yang menjadi bagian dari provinsi Kalimantan Timur pada ketika ini. Bahwa kemudian muncul wacana, dan disahkan melalui undang-undang, ibu kota negara (IKN) pindah dari Jawa (Jakarta) ke sini; semua itu sebenarnya adalah “panggilan sejarah”.

Boleh dikatakan bahwa perpindahan IKN ke Kalimantan Timur meneguhkan kembali bahwa jejak peradaban –sekaligus lierasi—dari Varuna-dvipa dan kembali ke Varuna-dvipa.

Varuna-dvipa adalah nama pulau Kalimantan yang ditemukan dalam khasanah dan pustaka era pengaruh dan pendudukan Hindu-India. Sesuai dengan tarikh dibuatnya prasasti Yupa, maka diketahui bahwa Yupa adalah jejak literasi yang ditengarai dibuat pada akhir abad ke-4 atau abad 5 Masehi.

Aslinya prasasti Yupa bertuliskan aksara Pallawa. Tentang kebaikan Raja Mulawarman dan persembahan terbaiknya bagi rakyat dan Sang Pencipta.

Apa sebab prasasti Yupa, dibandingkan jejak literasi di pulau Jawa seakan-akan “kalah pamor” meskipun diakui lebih tua?

Tak lain tak bukan. Hal itu karena di tanah Jawa, selain memang ditemukan prasasti di berbagai tempat; terdapat para pujangga. Sejak di bangku sekolah dasar, kita diperkenalkan melalui mata pelajaran Sejarah Indonesia siapa para pujangga itu. Beberapa di antara yang terkenal, dan masih kita hapal di dalam kepala, antara lain: Mpu Tantular dan Prapanca.

Patut diduga bahwa popularitas serta pengaruh para pujangga tanah Jawa karena mereka menuliskan sejarah selain fokus (digaji kerajaan), juga karena kitab yang dituisnya cukup tebal. Meski ditulis di dalam media daun lontar, kitab-kitab itu sungguh memenuhi syarat sebuah buku zaman now. Terutama buku yang dipersyaratkan oleh UNESCO bahwa: setidaknya tebalnya 49 halaman, isinya sistematis (ada susunannya), metodologis (ada metodenya), merupakan satu kesatuan gagasan/ informasi yang utuh; tidak lepas-lepas; dan: disatukan, atau dijilid dengan rapi.

Itulah yang membuat literasi di tanah Jawa, di era kerajaan dan imperium Majapahit menjadi terkenal. Dari zaman ke zaman, kitab karya para empu it uterus dipromosikan dan diperkenalkan. Dibicarakan di kalangan para ilmuwan. Didiskusikan di antara kaum cerdik cendikia. Bahkan, pada era kolonial; digabungkan dalam sejilid buku yang tersusun dengan rapi oleh penguasa yang berpengaruh ketika itu, yakni: Thomas Stanford Raffles yang dieberi judul The History of Java.

Saripatinya adalah bahwa literasi adalah tentang mengenal diri-sendiri. Baik secara harfiah, diri sebagai entitas seseorang. klan, kaum, komunitas, dan masyarakat. Termasuk mengenal dan memahami lingkungan, alam, dan dunia sekitar.

Dalam konteks itulah maka warga Dayak perlu literasi. Literasi mula-mula adalah baca-tulis. Selanjutnya naik level literat di bidang ekonomi, politik, dan kebudayaan. 

Banyak Buku tentang Borneo, tapi….

Hal yang sangat disayangkan adalah bahwa Borneo dan penduduknya dicitrakan atau ditulis dari sisi eksotik. Dibidik oleh para penulis dengan memandang atau mengangkat segi nilai-jual berita (news value)-nya. Atau suatu upaya yang secara sengaja dan sistematis menjual Borneo, alam, dan penduduknya agar berharga dari sisi pembaca dan keuntungan materi –sesuatu kerja upaya yang oleh para aliran baru Sekolah Frankfurt yang hijrah ke Amerika, seperti Adorno, disebut sebagai “komodifikasi budaya”.

Jujur saja, banyak buku tentang Borneo pada era kolonial. Namun, ditulis oleh orang asing. Kita dapat menyebut di antaranya Black Borneo. Buku yang berpengaruh. Sekaligus bekerja, sesuai dengan salah satu teori media yakni “Hypodermic Theory” di mana suatu konten yang disajikan melalui media (buku) mempengaruhi pembaca. Sedemikian rupa, sehingga “nancap di kepala” dan mempengaruhi tingkah lakunya. Bukan saja membentuk persepsinya, melainkan juga membangun kerangka berpikir, bertindak, serta budaya.

Satu dua buku yang cukup jujur menggambarkan manusia Dayak pada masa lalu memang ada. Sebagai contoh, hasil amatan, pengalaman, serta pemikiran seorang misionaris asal negeri Belanda Herman Josef van Hulten. Ia diutus oleh Misi Katolik untuk mewartakan kabar baik dan penginjilan di kalangan suku bangsa Dayak di Borneo Barat. Catatan-catatannya cukup objektif. Tak mengherankan ketika dibukukan, menjadi manual atau buku wajib oleh Prof. Jim Collins bagi para calon doktor binaanna di University Kebangsaan, Malaysia.

Baca juga: Ketika Catatan Harian Seorang Misionaris tentang Hidup dan Karyanya di antara Suku Dayak Jadi Buku Wajib Calon Doktor 

Hingga saat ini misalnya, sebagian orang yang belum pernah berkunjung dan berinteraksi dengan Kalimantan dan penduduknya, banyak yang mispersepsi. Sekaligus masih mempunyai stereotipe tentang Kalimantan dan penduduknya, antara lain:

Tentu, suatu persepsi atau stigma yang serba-minor; yang dibangun oleh para penulis dan pelancong asing. Sesuatu yang dalam kajian media dan budaya Media/impact, disebut sebagai: komodifikasi budaya. Menjual kebudayaan suatu sukubangsa secara ekonomis tanpa memperhatikan atau menempatkan konten itu sesuai dengan kebenaran, fakta apa adanya.

Menggelorakan Semagat Dayak Menulis “Dari Dalam

Tidak demikian halnya dengan narasi yang ditulis, dan dibangun, oleh para penulis dan pelancong asing ke Borneo. Ada yang secara sengaja. Namun, lebih banyak lagi yang salah menulis tentang Borneo dan Dayak baik dari sisi substansi materi, maupun dari sisi akurasi. Perbedaan latar belakang, serta pengetahuan yang minim, mengenai suatu objek yang ditulis; dapat menyebabkan seorang penulis salah di dalam menarasikan suatu objek.

Oleh karena itu, kita merasa bersyukur. Meskipun terlambat, muncul para penulis “dari dalam”. Yakni orang-orang Dayak yang terpelajar dan berpengetahuan. Yang oleh karena latar belakang (pendidikan dan sekolah) atau oleh tugas (wartawan); menuls dari dalam.

Setelah itu, muncul nama-nama para pengarang-penulis Dayak, sebagaimana dicatat Wikipedia, seperti: Niko Andas Putra, Djuweng, Liu Ban Fo (Munaldus), dan sebagainya. Mereka ini yang semakin mengukuhkan eksistensi literasi Dayak di era peralihan analog ke digital.

Generasi yang lebih junior kemudian bermunculan, seperti Alaxander Mering dengan nama pena Wisnu Pamungkas dan Buni Miank. Mereka mampu bersaing dalam hal karya fiksi di panggung nasional. Kini sedang berkibar. Dan naik daun.

Literasi Dayak Kini

Tanpa berniat mengecilkan tinggalan batu di sepanjang Sungai Krayan dari Kecamatan Krayan Tengah hingga Long Bawan sepanjang Puneng Krayan, tinggalan batu zaman dahulu kala tidak meninggalkan narasi. 

Nyaris tidak ditemukan di di samping atau di ukiran tinggalan batu arkeologi itu inskripsi (tulisan di dalam yang menyertainya). Hanya gambar dan ukiran (narit) saja. Yang masih perlu untuk ditafsirkan lagi denga pendekatan hermenetika dan jika perlu dengan uji-karbon untuk mengetahui pastinya seperti di Gua Niah.

Maka kita bersyukur kini ada "lompatan" sejarah literasi Dayak. Adalah pegiat sekaigus tokoh literasi nasional, Dr. Yansen TP, M.Si yang menggagas Batu Ruyud Writing Camp. 

Setelah digodok bersama tiga sahabatnya (Masri, Pepih dan Dodi), jadilah perhetaan itu. Batu Ruyud Writing Camp I dilaksanakan dari tanggal 27 Oktober-3 November 2022. Bukan hanya pesta rakyat karena ribuan masyarakat berbondong-bondong datang ke lokus. Melainkan juga para pegiat literasi nasional, tokoh adat, guru, siswa, serta seluruh makhluk merayakannya.

Dari tarian penyambutan yang ditampilkan khas masyarakat setempat. Kesenian. Kebudayaan. Pelatihan. Pendampingan. Diskusi. Serta deklarasi Literasi Dayak dan Literasi Sunda; semuanya seakan memeteraikan bahwa Batu Ruyud Wrting Camp adalah tonggak, kelanjutan dari literasi awal di Borneo semasa Raja Mulawarman yang mendirikan tiang batu beraksara pallawa.

Tidak syak lagi. Sejak diluncurkannya "Batu Ruyud Writing Camp" di Dataran Tinggi Krayan, literasi Dayak kian kokoh. Gaung (media/impact)-nya ganda: selain meninggalkan prasasti Ruyud di mana terukir para peserta dan penggagasnya juga impaknya tersebar di jagad digital. Cek, atau cari saja di jagad maya Google banyak gambar, peristiwa, serta narasi tersimpan secara baik rekam jejak digitalnya.

Batu Ruyud, tempat bertemu para pegiat literasi nasional. Di Bau Ruyud juga Deklarasi Literasi Dayak dikumandangkan.


Batu Ruyud, juga kanal berita dan informasi kita ini, dapat dilihat sebagai mata-rantai Batu Yupa. Yang menghubungkannya juga dengan literasi analog (cetak) sebagaimana telah dibahas di atas yang ditulis "dari dalam" oleh orang Dayak.

Dalam konteks inilah Dayak harus menulis dari dalam. Dikutip, tidak lagi mengutip. Memframing, tidak lagi diframing. Membranding, tidak lagi dbranding. Saatnya Dayak merdeka dan bebas dari segi literasi.

Akan sangat berbeda konten tentang Dayak ditulis orang luar (Dayak) dengan yang ditulis dari dalam. Di mana letak bedanya?

Hanya dengan jalan literasi, citraan Dayak sesuai dengan faktanya. Tidak lagi menjadi objek komodifikasi budaya.Yang secara sembarangan saja "dijual" sisi sisi eksotik serta dicitrakan serba-peyoratif seperti zaman dahulu kala. Ketika orang Dayak belum melek huruf. Tatkala suku asli penghuni bumi Borneo ini belum dijamah pembangunan serta belum tumbuh habitus baca-tulisnya.

Kini asal klik kata kunci di Google maka akan munculBatu Ruyud.

Literasi Dayak Saat ini dan Nanti

Di era kolonial, banyak buku yang mendeskripsikan Borneo dan Dayak secara eksotis oleh penulis asing. Perlakuan literasi asing masa lalu seperti itu menciptakan persepsi yang sering keliru dan menggambarkan Dayak dari sudut pandang luar. Namun, literasi Dayak terus berkembang, dengan para penulis Dayak yang muncul untuk menulis tentang diri mereka sendiri dan mengatasi stereotipe yang tidak akurat.

Konsep "Dayak Menulis Dari Dalam" mengacu pada upaya pengembangan literasi Dayak yang berakar dalam identitas mereka sendiri. Ini merupakan langkah menuju merdeka dalam merumuskan citra Dayak yang sesuai dengan realitas. 

Batu Ruyud Writing Camp menjadi tonggak penting dalam upaya ini, mengumpulkan pegiat literasi, tokoh adat, guru, dan masyarakat untuk mendorong literasi Dayak. Camp ini menggabungkan tradisi dan teknologi modern dalam merayakan literasi, serta mendorong konten literasi yang autentik tentang Dayak.

Melalui literasi, Dayak memiliki kesempatan untuk mengontrol narasi dan menghapus stereotipe yang tidak akurat. Literasi "Dari Dalam" berfokus pada penguatan identitas Dayak dan pengembangan literasi yang sesuai dengan budaya dan kebenaran sejarah mereka. Dengan melibatkan penulis Dayak yang terpelajar, literasi Dayak dapat berkembang secara positif dan lebih menggambarkan identitas mereka sendiri.

Harapannya, literasi Dayak akan terus berkembang dan menguatkan identitas mereka. Dengan lebih banyak penulis Dayak yang menulis "Dari Dalam," citra Dayak yang akurat dan kuat akan semakin tersebar. Pemikiran-pemikiran ini akan membuka jalan bagi pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik tentang masyarakat dan budaya Dayak, serta menghilangkan persepsi yang keliru.

Literasi Dayak bukan hanya tentang menulis kata-kata, tetapi juga tentang membangun kesadaran dan penghargaan terhadap identitas dan sejarah mereka. 

Dengan melanjutkan upaya literasi yang kokoh, Dayak memiliki peluang untuk membentuk narasi tentang diri mereka sendiri, memberdayakan masyarakat, dan menghapuskan gambaran yang salah tentang mereka.

Gagasan ini berkaitan dengan literasi dan identitas Dayak yang diakui melalui sejarah, proses kreatif, penulisan, serta publikasi. Sejarah literasi Dayak dimulai dari prasasti Yupa, yang mengisyaratkan bahwa literasi telah menjadi budaya sebelum kedatangan pelancong Eropa dan Amerika. 

Di era kolonial, banyak buku yang mendeskripsikan Borneo dan Dayak secara eksotis oleh penulis asing. Ini menciptakan persepsi yang sering keliru dan menggambarkan Dayak dari sudut pandang luar. Namun, literasi Dayak terus berkembang, dengan para penulis Dayak yang muncul untuk menulis tentang diri mereka sendiri dan mengatasi stereotipe yang tidak akurat.

Konsep "Dayak Menulis Dari Dalam" mengacu pada upaya pengembangan literasi Dayak yang berakar dalam identitas mereka sendiri. Ini merupakan langkah menuju merdeka dalam merumuskan citra Dayak yang sesuai dengan realitas. 

Batu Ruyud Writing Camp menjadi tonggak penting dalam upaya ini, mengumpulkan pegiat literasi, tokoh adat, guru, dan masyarakat untuk mendorong literasi Dayak. Camp ini menggabungkan tradisi dan teknologi modern dalam merayakan literasi, serta mendorong konten literasi yang autentik tentang Dayak.

Melalui literasi, Dayak memiliki kesempatan untuk mengontrol narasi dan menghapus stereotipe yang tidak akurat. Literasi "Dari Dalam" berfokus pada penguatan identitas Dayak dan pengembangan literasi yang sesuai dengan budaya dan kebenaran sejarah mereka. Dengan melibatkan penulis Dayak yang terpelajar, literasi Dayak dapat berkembang secara positif dan lebih menggambarkan identitas mereka sendiri.

Harapannya adalah bahwa literasi Dayak akan terus berkembang dan menguatkan identitas mereka. Dengan lebih banyak penulis Dayak yang menulis "Dari Dalam," citra Dayak yang akurat dan kuat akan semakin tersebar. Pemikiran-pemikiran ini akan membuka jalan bagi pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik tentang masyarakat dan budaya Dayak, serta menghilangkan persepsi yang keliru.

Membangun Kesadaran Bersama

Literasi Dayak bukan hanya tentang menulis kata-kata, tetapi juga tentang membangun kesadaran dan penghargaan terhadap identitas dan sejarah mereka. Dengan melanjutkan upaya literasi yang kokoh, Dayak memiliki peluang untuk membentuk narasi tentang diri mereka sendiri, memberdayakan masyarakat, dan menghapuskan gambaran yang salah tentang mereka.

Dengan semakin banyaknya penulis Dayak yang menulis "Dari Dalam," literasi Dayak akan terus menguatkan identitas mereka. Literasi akan menjadi alat yang kuat untuk mengatasi stereotipe dan membangun citra yang akurat tentang masyarakat Dayak.

Literasi akan memainkan peran penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat Dayak tentang sejarah, budaya, dan identitas mereka sendiri. Pendidikan tentang literasi akan menjadi kunci untuk memastikan konten literasi yang berkualitas dan akurat.

Literasi Dayak juga harus mengikuti perkembangan teknologi dan media sosial. Pelatihan tentang literasi digital dan pemanfaatan platform online akan membantu masyarakat Dayak untuk terlibat dalam diskusi global dan mempromosikan identitas literasi mereka.

WhatsApp Group (WAG) Literasi Dayak, simposium, riset, dan penelitian akan menjadi instrumen penting dalam mengumpulkan pengetahuan dan merangsang diskusi. Ini akan membantu dalam pengembangan literasi yang lebih komprehensif dan akurat.

Mendorong lebih banyak kolaborasi antara penulis Dayak dan ilmuwan serta akademisi untuk menghasilkan konten literasi yang lebih dalam dan ilmiah.

Pemanfaatan teknologi dan media sosial perlu ditingkatkan untuk menyebarkan literasi Dayak ke berbagai lapisan masyarakat.

Kongres Internasional Literasi Dayak I:

Kongres ini memiliki potensi untuk menjadi titik fokus dan gong eksistensi literasi Dayak di abad milenial. Ini akan mengumpulkan berbagai pemangku kepentingan literasi Dayak dari berbagai tempat untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, dan gagasan. Ini bisa menjadi peluang untuk merumuskan agenda dan arah pengembangan literasi Dayak secara lebih luas.

Munculnya penulis Dayak yang menulis "Dari Dalam" telah membantu membangun citra yang akurat tentang masyarakat Dayak.

Adanya upaya seperti Batu Ruyud Writing Camp dan inisiatif lainnya telah memperkuat literasi Dayak di komunitas lokal.

Mengapa Dayak Perlu Menulis?

Batu Yupa, misalnya, adalah batu nisan kuno yang menunjukkan sistem kepercayaan dan ritual Dayak yang sudah berusia ratusan tahun. Semua itu bukti konkret dari warisan budaya yang telah bertahan lama dan tetap relevan dalam sejarah.

Sayangnya, banyak aspek kedigdayaan dan kepakaran Dayak belum sepenuhnya terekam dalam literatur. Sejarah dan budaya lisan adalah bagian integral dari kehidupan Dayak, dan banyak pengetahuan tradisional dan keahlian mereka belum tertulis. Contohnya adalah kasus Suwido Limin, seorang ahli gambut Dayak yang telah memberikan kontribusi besar dalam bidangnya.

Suwido Limin adalah contoh bagaimana seorang Dayak dapat mengembangkan pemahaman mendalam tentang lingkungannya dan menjadi ahli dalam bidangnya. Namun, karena kekurangan penulisan dan publikasi, pengetahuan dan pengalaman berharga ini tidak tersedia secara luas untuk orang lain. 

Jika Suwido dan pakar Dayak lainnya di komunitas Dayak dapat lebih aktif dalam menulis dan mempublikasikan temuan dan pengetahuan mereka, hal dapat menghasilkan manfaat yang lebih besar.

Penulisan dan publikasi dapat memberikan pengakuan global terhadap kekayaan intelektual Dayak dan kontribusi mereka dalam bidang-bidang seperti pelestarian lingkungan dan pengelolaan gambut.

Karya-karya tulis ini dapat digunakan sebagai sumber referensi dan penelitian bagi generasi muda Dayak, membantu mereka memahami warisan budaya dan ilmiah mereka. Jika toh tidak menulis sendiri, bisa minta pakar Dayak lain, atau jasa orang yang dikaruniai kecerdasan verba dan linguistik. Seperti jalan yang dilalui oleh Panglima Jilah ini.

Dengan mempublikasikan pengetahuan mereka, individu seperti Suwido Limin dapat menjadi pemimpin intelektual yang mempengaruhi kebijakan dan tindakan dalam lingkungan mereka.

Menulis dan publikasi dapat menjadi alat yang sangat kuat untuk memperkuat dan membagikan kekayaan budaya dan pengetahuan Dayak. 

Literasi, dengan dampaknya yang lambat laun, juga dapat memberikan kontribusi yang lebih besar dalam upaya pelestarian lingkungan dan pengembangan masyarakat di Kalimantan dan wilayah-wilayah lain di mana suku Dayak berada.

Bagaimana generasi muda Dayak dapat memanfaatkan peluang ini untuk menciptakan kekayaan, bukan hanya dalam bentuk uang, tetapi juga pengetahuan dan hubungan?

Literasi Dayak nanti

Dalam konteks itu, penting bagi komunitas Dayak untuk menjadi narator utama tentang siapa mereka sebenarnya.

Menarik mengulik bagaimana literasi Dayak nanti, di era ekonomi 5.O?

Memproyeksi masa depan, tentu mulai dari masa lalu dan masa kini. Ibarat preis mayor dan minor, kesimpulannya harus ditarik melalui premis-premis sebelumnya.

Literasi Dayak akan semakin kokoh, maju, dan berkembang. Semua jenis literasi, orang Dayak melek, bahkan mahir di bidang masing-masing.

Hari ini, Dayak telah literat di berbagai jenis literasi itu! Kita tidak setuju jika dikatakan Dayak belum maju. Dayak berjalan ke depan meninggalkan apa yang dipersepsikan.  Masih kerap terjadi mispersepsi dan miskonsepsi tentang Dayak. Dan pertumbuhan mereka, dalam semua dimensi literasi di atas, berkembang secara deret ukur. 

Di bidang seni budaya, Dayak telah mengemasnya sebagai komoditas bernilai ekonomi tnggi. Marion, seniman Dayak dari Gunung Mas, Kalimanan Tengah, adalah contoh hidup.

Lewat jalan literasi, Dayak memberi gambaran nyata kepada dunia mengenai eksistensi, jati-diri, serta kedigdayaannya. Sebagai salah satu dari jutaan warga dunia. (Masri Sareb Putra*)

LihatTutupKomentar