Dayak dalam Narasi Penulis dan Antropolog Tempo Dulu
![]() |
Potret anak-anak Dayak zaman baheula Dok. Rmp. |
Membaca buku-buku karya penulis dan antropolog asing (barat), tentang Borneo dan penduduknya di masa lalu. Apa yang kita temukan?
Tidak ada yang lain kecuali litani panjang. Yaitu narasi tentang sandang, pangan, papan yang serba-minim dan tidak layak, tingkat kesehatan yang buruk, sarana transportasi yang sangat sulit hanya melalui jalur air, pendidikan yang terbelakang, kualitas manusia di bawah rata-rata, miskin, tinggal di pemukiman yang jauh dari standar kebersihan dan kesehatan, pekerja yang tidak terampil, manusia yang pemalas, hanya menyebut etnis Dayak di Borneo, serta peradaban yang dilukiskan masih perlu belajar dari negeri asal para penulis.
Sekali lagi. Itu adalah citraan, atau penggambaran Dayak di masa lalu oleh para pelancong, penjelajah, peneliti, dan penulis asing. Seiring dengan perkembangan dan kemajuan zaman, penggambaran di masa lalu itu, telah berubah sama sekali. Citraan yang dibangun, tidak mengherankan, Dayak jadi serba minor.
Baca Dayak Harus Menulis Dari Dalam https://www.literasidayak.com/2023/05/dayak-harus-menulis-dari-dalam.html
Narasi positif inilah yang terbaca dalam buku ini. Ditulis dengan gaya bahasa yang enak dibaca dan bernas, membuat tidak bosan membacanya dari halaman pertama hingga tamat.
Oleh
karena etnis Dayak zaman dahulu kala belum berpendidikan, belum berpengetahuan,
terbelakang dalam banyak hal apalagi belum melek literasi; maka narasi yang
ditulis –dan kemudian terbangun tentang indigenous people pulau Borneo
ini serba-miring. Narasi seperti inilah yang akan kita temui pada buku ini di
mana dipaparkan sejumlah penulis dan bukunya yang menstigma sekaligus melabeli
Dayak sebagai suku primitif.
Citra primitif dan peyoratif etnis Dayak, sesungguhnya berasal dari ulah para pelancong Barat yang menginjakkan kaki di bumi Borneo sejak pengujung abad 18 untuk mencari “nilai berita” dan menjual keunikannya. Salah satu keunikan yang dianggap laku untuk dijual sebagai komoditas ialah praktik pengayauan (headhunting) di kalangan etnis Dayak pada waktu itu.
Akibatnya, hingga kini pencitraan tersebut masih melekat kuat terutama di benak masyarakat di luar etnis Dayak, padahal praktik pengayauan itu sendiri sudah disepakati untuk tidak dilanjutkan lagi pada pertemuan besar masyarakat Dayak se-Borneo di Tumbang Anoi, Kalimantan Tengah, pada 1894 yang difasilitasi oleh pemerintah kolonial.
Pasca 1894, setelah diadakannya Perjanjian Damai Tumbang Anoi, di Borneo masih beberapa kali terjadi konflik antara Dayak sebagai indigeneous people dengan beberapa etnis pendatang yang jika dilihat dari casus belli serta modus-nya terdapat kesamaan. Tidak mengherankan, jika kemudian banyak pihak menghubung-hubungkannya dengan tradisi ngayau. Akan tetapi, dilihat dari segi motif, hal itu jelas berbeda.
Kiranya Perjanjian Tumbang Anoi ini perlu mendapat catatan cukup lengkap. Mengapa? Sebab peristiwa bersejarah inilah yang menjadi tonggak mulai hilangnya stigma Dayak sebagai suku-bangsa pengayau sekaligus manusia primitif. Sebelumnya, manusia Dayak dicitrakan sebagai suku-bangsa pemburu kepala manusia tanpa dimengerti betul konteksnya, sehingga dilabeli dengan headhunter.
Penulis dan orang luar kerap salah di dalam memahami esensi yang utama. Mereka cenderung hanya megekspliotasi sisi-sisi kontoversial dan yang unik saja. Inilah yang dalam terminologi ilmu komunikasi disebut “komodifikasi budaya”, yakni bagaimana penulis dan produsen mengemas suatu objek menjadi barang dagangan yang bernilai-jual.
Hampir semua penulis asing bias di dalam menulis topik ngajau. Para penulis tersebut tidak sampai pada inti pokok atau esensi ngayau, cenderung menggambarkan hal-hal kontroversial yang dianggap bernilai-jual saja.
Apa hakikat ngayau? Faktor-faktor dan motif-motif apa sajakah yang mendorong etnis Dayak melakukan praktik pengayauan? Lontaan (1975: ) menjelaskan setidaknya terdapat 1975: 533-537) mencatat setidaknya terdapat empat motif ngayau.
Pertama, melindungi pertanian.
Kedua, mendapatkan tambahan daya (rohaniah).
Ketiga, balas dendam.
Keempat, sebagai penambah daya tahan berdirinya bangunan.
Sebenarnya, masih ada motif lain di balik ngayau –dan ini jauh lebih penting— yakni upaya mempertahankan (self defense) diri. Bahkan boleh dikatakan bahwa motif mempertahankan diri ini jauh lebih sering mengemuka daripada motif-motif lain, terutama pra dan pascaperjanjian Tumbang Anoi.
Oleh sebab itu, ngayau haruslah dilihat dalam konteks menjaga keamanan semesta, mempertahankan klan dan keturunan, lingkungan, harta benda, serta seluruh perikehidupan bahwa sebelum diserang; lebih baik menyerang (ngayau) terlebih dahulu.
Baca Tumbang Anoi 1894 Sebagai Literasi Politik Dayak https://www.literasidayak.com/2023/05/tumbang-anoi-1894-sebagai-literasi.html
Hal ini seperti yang kerap dikemukakan Menteri Pertahanan RI, Prabowo Subianto, dalam ungkapan Latin, “Si vis pacem, para bellum” (Jika Anda menginginkan damai, bersiap—siaplah untuk perang”
Tidak diketahui siapa yang pencipta peribahasa ini, tetapi banyak yang meyakini bahwa peribahasa ini dikutip dari penulis militer Romawi Publius Flavius Vegetius Renatus (akhir abad 4). Nah, agaknya orang nenek moyang Dayak paham betul meski secara naluriah kebenaran kata-kata itu.
Dalam konteks ini, agaknya harus dipahami bahwa ngayau bukan saja sebagaimana yang dicatat dan dinarasikan orang luar, yang tidak mengenal sepenuhnya alam pikiran dan budaya orang Dayak. Ngayau adalah juga bentuk pertahanan diri, yakni ofensif (serangan) bukan hanya defensif (bertahan). Persis seperti dalam taktik permainan sepakbola strategi ini, bergantung kepada karakter dan kekuatan lawan.
Itulah, antara lain bagaimana narasi tentang Dayak dibangun dengan kekurangan pengetahuan dan informasi yang lengkap. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa para penulis di luar etnis Dayak membingkai penduduk asli pulau Borneo tersebut, sehingga membentuk citra sebagai etnis pengayau atau headhunter. Padahal, sejarah mencatat bahwa Dayak bukanlah suku bangsa terakhir di Nusantara yang melakukan praktik headhunting, tapi suku lain, di salah satau pulau besar, selain Kalimantan.
Latar ngayau haruslah ditempatkan pada konteks yang sebenarnya. Jadi, tidak semata-mata memburu kepala musuh sebagai memburu saja, melainkan di dalamnya termaktub multidimensi dan multimakna. Ofensif dan mempertahankan wilayah dan menjaga kedaulatan serta kehormatan klan adalah yang utama.
Penulis dan orang luar kerap salah di dalam memahami esensi yang utama ini, cenderung hanya megekspliotasi sisi-sisi kontoversial dan yang unik saja. Inilah yang dalam terminologi ilmu komunikasi disebut “komodifikasi budaya”, yakni bagaimana penulis dan produsen mengemas suatu objek menjadi barang dagangan yang bernilai-jual. Padahal, ofensif, suatu klan Dayak di masa lampau sedang dalam keadaan siaga menghadapi serangan dari lawannya yang mengancam, sama sekali tidak dipahami serta tidak dinarasikan.
Demikianlah, kita telah melihat bagaimana Dayak dan ngayau-nya dalam narasi para penulis dan antropolog Barat di masa lampau. Ketika orang Dayak sendiri masih serba-terbelakang dari berbagai dimensi kehidupan, menjadi objek komodifikasi budaya, gambar-gambarnya yang bertelanjang dada, bercawat, menyumpit, telinga panjang, sekujur tubuhnya bertato, dan serba minor lainnya menjadi “barang dagangan”. Tidak sama sekali menampilkan sisi-sisi baik dan mulia, apalagi nilai-nilai yang tidak kasat mata di dalam narasinya.
Baca
Kini pemandangan seperti itu sudah tidak ada lagi, hanya ada dalam horizon sejarah masa lampau. Sama sekali tidak disangkal bahwa memang apa yang dinarasikan ada benarnya, akan tetapi narasi tersebut sungguh tidak seimbang, dan kadang sangat bias.
Spirit dan upaya menggiatkan budaya literasi agar “Dayak menulis dari dalam”, kiranya pantas untuk didorong dan semakin ditumbuhkembangkan menjadi habitus. Agar semakin banyak pustaka dan referensi tentang Dayak yang dinarasikan secara berimbang, yang secara perlahan-lahan, namun pasti seperti narasi di masa lampau, membangun citraan Dayak yang sesuai dengan kenyataan. Bahwa suku bangsa Dayak yang serba minor dan tertinggal, hanyalah kisah dan legenda di masa lalu.
Kini mereka tumbuh dan sedang mencatatkan sejarah sebagai suku bangsa yang maju, beradab, berkembang, dan mampu bersaing dengan suku bangsa di mana pun di atas muka bumi ini. *)