Literasi Dayak: Mengapa Dayak Harus Menulis dari Dalam?
Ilustrasi gambar: AI. |
Carl Bock, seorang penulis asing yang terkenal karena melabeli suku Dayak sebagai "Headhunter" dalam bukunya yang berjudul "Headhunters of Borneo," memasuki sejarah Borneo dengan catatan yang kontroversial.
Tahun 1881, ketika bukunya terbit dengan tebal 344 halaman, mungkin Bock hanya memikirkan bagaimana membuat judul yang menarik untuk menjual bukunya di pasaran. Namun, apa yang mungkin ia tidak sadari adalah bahwa tindakan ini akan meletakkan beban sejarah yang berat pada penduduk asli Borneo selama berabad-abad yang akan datang.
Kekeliruan Bock
Dalam tindakan tersebut, kekeliruan Bock tidak hanya terletak pada sensasionalisme yang ia bawa dalam judul bukunya, tetapi juga pada ketidaktahuannya yang sangat terbatas tentang budaya Dayak dan tradisi ngayau mereka. Ia dengan sembrono mengasumsikan bahwa Dayak memenggal kepala musuh hanya untuk kesenangan semata, padahal ini adalah pandangan yang keliru dan sangat menyesatkan.
Ngayau, praktik pemenggalan kepala, ternyata memiliki dimensi yang jauh lebih dalam dan kompleks. Orang Dayak "dalam" memahaminya dengan lebih baik karena mereka memiliki pemahaman mendalam tentang filosofi, tradisi, dan nilai-nilai yang melingkupinya.
Sebagai orang Dayak, mereka memiliki kewajiban untuk menulis dan mempublikasikan pengetahuan ini agar bisa melawan narasi post-truth yang merendahkan dan tidak memahami budaya serta sejarah mereka.
Ini adalah panggilan untuk memahami budaya Dayak dengan lebih mendalam dan menghargai warisan sejarah yang kompleks ini. Ini adalah panggilan untuk mengganti narasi negatif yang telah dilekatkan pada mereka selama bertahun-tahun dengan pengetahuan yang lebih akurat dan berempati, untuk melawan ketidaktahuan, dan untuk merayakan kekayaan budaya suku Dayak.
Salah satu melawan post-truth yang menarasikan Dayak itu melalui publikasi jurnal internasional, artikel di media digital, dan buku.