1990-an Geliat Dayak Menulis dari Dalam
Judul narasi ini dicamkan terlebih dahulu dengan saksama. Dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Maka Anda menemukan saripati dari seluruh narasi.
Salah satu tonggak penting adalah buku, yang merupakan prosiding seminar Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi (1994) yang disunting Paulus Florus, dkk. yang ditrbitkan PT Grasindo, Jakarta – salah satu anak perusahaan Kompas Gramedia Grup.
Mengapa dikatakan
“tonggak baru”? Alasannya karena dalam seminar antarbangsa yang diadakan di kota
khatulistiwa, Pontianak, ini penulisan dan kesepakatan “Dayak” sebagai nama
etnis penduduk asli Borneo ini, ditetapkan.
Setelah konsensus, kini kita merasa penulisan "Dayak" adalah baku. Padahal, baku/tidaknya sepatah kata, atau terminologi bergantung kepada kesepakatan bersama.
Sebelumnya, terdapat 6 versi penulisan etnis asli pulau Borneo itu, yakni: Daya, Daya’, Dajaks, Dyaks, Dya, dan Dayak. Penulisan yang baku adalah “Dayak” sebagai hasil konsensus pada bulan November 1992, ketika IDRD menyelenggarakan Seminar Nasional Kebudayaan Dayak di Pontianak. Seminar ini dihadiri sekitar 350 peserta dari Indonesia, Belanda, Perancis, Sabah dan Sarawak.
Baca Dayak Dalam Narasi Penulis Dan Antropolog Tempo Dulu https://www.literasidayak.com/2023/05/dayak-dalam-narasi-penulis-dan.html
Terutama dalam literatur berbahasa Belanda, penulisan adalah “Daya”tanpa k. Hal itu karena dalam tata bahasa Belanda senantiasa menyelipkan huruf konsonan di antara dua huruf vokal untuk membentuk kata benda-orang. Maka penambahan ER terjadi pada DAYA --> Dayaker. Jadi, Dayak adalah manusia yang mendiami/ tinggal di hulu atau darat, jauh dari pesisir kepulauan Borneo. Hal yang demikian, sepadan dengan Nederland (harfiahnya: negeri/ tanah berada di bawah permukaan laut), orang yang mendiami tanah itu disebut: Nederlander.
Penulis dari dalam ini setidaknya membongkar stigma para penulis luar. Mereka menggambarkan bahwa rumah orang Dayak tidak sehat, mudah terbakar, gampang kena penyakit menular, hidup komunal berpotensi untuk pelanggaran moral dan seks bebas, serta gambaran serba minor yang lain.
Kemudian, Thambun Anyang (1996) dari disertasinya meulis Daya Taman di Kalimantan Barat. Ia menarasikan Dayak yang bermukim di derah Kapuas Hulu bagian hulu kota Putissibau berbatasan dengan wilayah Sarawak, Malaysia dari sisi etnografis organisasi sosial dan kekerabatan dengan pendekatan antropologi hukum. Ditengarai masyarakat Taman berjumlah kurang lebih 5.000 jiwa.

Penulis yang kemudian Profesor di Universitas Tanjungpura, Pontianak ini boleh dikatakan “meluruskan” sekaligus melangkapi narasi-narasi yang sebelumnya ditulis oleh para kontroleur, misionaris, serta antropolog luar. Buku setebal 268 halaman ini, antara lain mencatat hikmat mengenai filosofi rumah panjang yang cenderung negatif dinarasikan orang luar.
“... bagi orang Taman tidak dapat diabaikan keebradaan rumah panjang, dipandang sebagai ajaran nenek moyang agar orang-orang tidak terpencar (inju tambor-ambor jo biring ujungan), dan merupakan wadah kesatuan sosial yang penting dalam kehidupan bersama mereka yang pada umumnya berkerabat satu dengan yang lain, bahkan warganya dapat disebut sebagai ‘corporate groups’. Sebagai pemimpin di rumah panjang tidak lebih daripada bertindak sebagai ketua. Orang-orang di rumah panjang merasa sebagai satu kesatuan sosial oleh karena mereka serumah panjang dan bertalian kerabat satu dengan yang lain, bukan oleh karena segolongan atau atas kuasa dari seseorang atau suatu golongan. Ajaran nenek moyang yang sekaligus pula merupakan pandangan hidup orang Taman yaitu setiap orang diharapkan dan harus berusaha agar hidup menjadi orang yang berperilaku baik, pandai bicara, bijak, rajin, terampil, perantau, banyak keturunan dan banyak harta dan dengan begitu akan bernama (tio’ tadongo), memungkinkan orang Taman dengan kesempatan yang sama apa pun penggolongannya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. “ (Anyang, 1996: 237).
Baca Dayak Harus Menulis Dari Dalam https://www.blogger.com/blog/post/edit/2058377535292710786/5693482165459088174
Penulis dari dalam ini setidaknya membongkar stigma para penulis luar. Mereka menggambarkan bahwa rumah orang Dayak tidak sehat, mudah terbakar, gampang kena penyakit menular, hidup komunal berpotensi untuk pelanggaran moral dan seks bebas, serta gambaran serba minor yang lain (Jenkins, 1978).
Dari internal etnis Dayak sendiri, terutama melalui tokoh politik, penggiat LSM maupun kalangan intelektual, ada upaya --meskipun belum sistematis—untuk coba mengoreksi dan menghapus stigma dan pencitraan Dayak sebagai suku bangsa primitif.
Tampilnya tokoh Dayak, dimulai dari tokoh Pergerakan Borneo dan diteruskan tokoh masa kini ke panggung regional, lokal, bahkan internasional, pencitraan Dayak perlahan-lahan mulai positif. Mereka gencar memaklumkan bahwa etnis Dayak berubah total, tidak seperti dahulu lagi, koevolusi dan koeksistensi dengan perkembangan teknologi dan dinamika mayarakat global.
Lewat publikasi, misi kesenian dan kebudayaan, seminar, dan diskusi; para tokoh Dayak berupaya mematahkan argumen penulis dan antropolog asing yang cenderung miring dan coba mengubah stereotip yang selama ini terlanjur tertanam bahwa etnis Dayak suku bangsa pengayau.
Baca Tumbang Anoi 1894 Sebagai Literasi Politik Dayak https://www.literasidayak.com/2023/05/tumbang-anoi-1894-sebagai-literasi.html
Pustaka dan publikasi yang dimaksudkan, antara lain Manusia Dayak: Orang Kecil yang Terperangkap Modernisasi (1993), Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi (1994), Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok (1998), Dayak Sakti (1999), Ulu Mahakam (2005), dan Dayak Djangkang (2010), dan Yansen TP bersama Ricky Yakub Ganang menulis buku Dayak Lundayeh Idi Lun Bawang: Budaya Serumpun di Dataran Tinggi Borneo (2018).
Masih banyak pustaka lain. Yang ditulis "dari dalam". Silakan Anda mengulasnya di ruang ini. *)