Dayak dalam Narasi Penulis dan Antropolog Tempo Doeloe : Dangkal, Bias, dan Outsider Perspective

Dayak, literasi, menulis, buku, bias, Media/Impact, Biagi,, stigma, Dayak Research Center, CU, Keling Kumang, konstruksi, identitas

 

Ilustrasi: AI

Orang Dayak yang anggun dan tampan sedang bersantai di pelataran rumah panjang. Dikelilingi pepohonan hijau, dengan hewan seperti anjing dan babi di sekitar.

๐Ÿ“ Peneliti: Masri Sareb Putra
๐Ÿ—“️ Tanggal Rilis: 28 Juni 2025


A. Pendahuluan

1. Latar Belakang

Selama berabad-abad, masyarakat Dayak menjadi objek tulisan para penulis, pelancong, dan antropolog Barat. Sayangnya, narasi-narasi itu sering kali bias; menonjolkan sisi eksotis dan meminggirkan kebenaran kontekstual budaya Dayak. Representasi ini dilakukan tanpa partisipasi aktif dari masyarakat Dayak itu sendiri.

Baca Pemetaan Penulis Dayak dan Buku Ber-ISBN Mencapai Lebih dari 2.347 Judul

Tulisan ini menelusuri bagaimana narasi eksternal membentuk citra orang Dayak, dampak-dampaknya, serta bagaimana masyarakat Dayak kini mulai merebut kembali kendali narasi melalui tulisan, media, dan karya ilmiah.

2. Rumusan Masalah

  • Bagaimana penulis dan antropolog masa lalu menggambarkan masyarakat Dayak?

  • Apa dampak narasi tersebut terhadap citra dan posisi sosial Dayak?

  • Bagaimana masyarakat Dayak membangun kembali narasi mereka dari dalam?

3. Tujuan Penelitian

  • Mengidentifikasi bentuk representasi Dayak dalam karya penulis dan antropolog masa lalu.

  • Menganalisis dampaknya terhadap masyarakat Dayak.

  • Menunjukkan transformasi narasi melalui literasi dari dalam komunitas Dayak.

B. Tinjauan Pustaka

Penelitian ini merujuk pada Media/Impact (Biagi, 2016) yang menjelaskan bagaimana media membentuk persepsi publik secara kumulatif. Dalam konteks masyarakat adat seperti Dayak, tulisan kolonial telah membangun konstruksi identitas yang eksotis dan distorsif. Salah satu koreksi penting datang dari Pastor Ding Ngo, seorang Dayak terpelajar, yang secara kritis menantang narasi Dr. Anton Nieuwenhuis.

C. Metodologi Penelitian

Jenis penelitian: kualitatif
Pendekatan: hermeneutika kritis
Sumber data:

  • Dokumentasi lama (buku, catatan antropolog, kartu pos kolonial)

  • Wawancara dengan penulis dan akademisi Dayak

  • Analisis teks terhadap karya penulis Dayak kontemporer

D. Hasil dan Pembahasan

1. Dampak Narasi Lama terhadap Masyarakat Dayak

Orang Dayak kerap menjadi subjek dalam tulisan-tulisan para penjelajah, misionaris, penulis kolonial, dan antropolog Barat sejak abad ke-19. Dalam teks-teks itu, mereka sering digambarkan sebagai "orang gunung" yang eksotis, jauh dari peradaban, dan lekat dengan kekerasan serta kepercayaan animisme. Imaji tentang mereka sebagai pemburu kepala, penghuni hutan lebat, dan manusia yang belum “tersentuh modernitas” berulang kali dikonstruksi dalam narasi yang ditulis dari luar—baik oleh Belanda, Inggris, maupun bangsa lain yang datang ke Borneo.

Dalam tulisan-tulisan Carl Bock, Charles Hose, atau karya-karya awal misi Katolik dan Protestan, orang Dayak sering kali dikisahkan sebagai “primitif yang perlu diselamatkan.” Mereka tidak dilihat sebagai individu dengan sistem nilai, pengetahuan lokal, dan struktur sosial yang kompleks, melainkan sebagai “bahan baku” untuk eksperimen kolonialisme, penginjilan, dan penaklukan budaya. Perspektif luar ini dengan sengaja menempatkan masyarakat Dayak dalam posisi pasif, hanya diam dipotret, digambarkan, diteliti, tanpa diberi ruang untuk berbicara bagi diri mereka sendiri.

Baca Tidak Semua yang di Internet itu: Benar

Narasi-narasi ini tidak netral. Ia memuat bias laten yang bertujuan melanggengkan dominasi. Dalam studi kolonial, narasi tentang “keterbelakangan” Dayak dijadikan legitimasi moral untuk mengintervensi kehidupan mereka, dari cara bercocok tanam, berpakaian, hingga cara beragama. Proyek-proyek modernisasi tidak dibangun di atas belarasa dan dialog, melainkan di atas rasa superioritas dan niat “menjadikan mereka manusia.”

Eksotisasi juga berlangsung massif. Dayak direduksi menjadi ikon wisata, citra poster, atau materi dokumenter yang mengagumi keanehan mereka: tato bunga terong, tari perang, rumah panjang, mandau dan upacara adat. Namun, di balik kamera dan jurnal ilmiah, orang Dayak sering mengalami marginalisasi struktural: wilayah adat diambil, tanah ulayat dirampas, suara mereka di ruang politik disenyapkan. Tubuh mereka dirayakan, tapi aspirasi mereka diabaikan.

Narasi-narasi tentang Dayak yang dibangun oleh penulis luar, baik kolonial maupun antropolog modern secara umum tidak seimbang. Para peneliti dan penulis asing memahami Dayak, tetapi tidak mengalami menjadi Dayak. Perspektif yang dihadirkan cenderung menyudutkan, penuh labelisasi, dan sering kali terjebak pada logika oposisi biner antara “modern” dan “primitif.”

Stigma sebagai masyarakat “terbelakang” telah menjadi warisan beracun yang hingga kini menyusup dalam wacana pembangunan. Stigma ini berdampak langsung pada akses pendidikan, perlakuan diskriminatif dalam kebijakan, dan kesenjangan ekonomi yang terus diderita masyarakat Dayak. Mereka tidak hanya kehilangan kendali atas narasi tentang diri mereka, tetapi juga kehilangan kendali atas ruang hidupnya sendiri—baik secara ekologis maupun kultural.

Orang Dayak telah lama dijadikan objek pengamatan, bukan subjek yang menjelaskan diri. Tantangan masa kini bukan lagi sekadar menanggapi tulisan-tulisan masa lalu, melainkan merebut kembali ruang naratif: menulis sendiri sejarah, ilmu, sastra, dan masa depan mereka. Sebab, selama orang luar terus menulis tentang Dayak tanpa mendengarkan suara dari dalam, narasi yang lahir akan terus timpang dan melanggengkan ketidakadilan.

Tulisan-tulisan kolonial menggambarkan Dayak sebagai masyarakat liar dan primitif. Citra ini diperkuat melalui foto-foto dalam kartu pos yang memperlihatkan orang bertato, bertelinga panjang, dan berburu kepala. Narasi seperti ini secara lambat laun membangun:

  • Stigma dan eksotisasi: Dayak dicitrakan terbelakang dan tak modern.

  • Kehilangan kendali narasi: Mereka dijadikan objek tanpa ruang menjelaskan diri.

  • Ketimpangan pembangunan: Labelisasi “terbelakang” menghambat akses pada pendidikan dan hak ekonomi.

2. Kesadaran Baru dan Perlawanan Melalui Literasi

Seiring kemajuan pendidikan, muncul kesadaran untuk menulis dari dalam. Tokoh seperti Pastor Ding Ngo mulai mengkritisi kesimpulan keliru dari penulis kolonial. Kini, banyak penulis Dayak menulis puisi, esai, dan riset sejarah yang memperbaiki narasi.

Komunitas seperti Dayak Research Center, CU Keling Kumang, Ytprayeh,com, Literasi Dayak, dan berbagai forum lokal aktif melatih penulis muda dan memperluas kanal narasi alternatif.

3. Perubahan Citra dan Kemandirian Narasi

Citra Dayak kini bergeser. Mereka dikenal sebagai akademisi, pemimpin adat, pengusaha, dan inovator. Rumah panjang bukan lagi simbol keterbelakangan, melainkan ikon budaya yang ditata modern, lengkap dengan AC dan Wi-Fi.

Baca Literasi Perang bagi Suku Dayak: Mewarisi Kesombongan dan Keserakahan, Menolak Kekerasan

Ladang tidak hanya menghasilkan padi, tapi juga menjadi lahan agroforestri dan wisata budaya. Kendaraan masyarakat Dayak bukan lagi rakit, tetapi mobil modern, bahkan listrik.

Dengan memanfaatkan media digital, dari blog, podcast, hingga film dokumenter, masyarakat Dayak kini menjadi narator, bukan lagi narasi.

Kesimpulan

Dominasi narasi luar terhadap masyarakat Dayak memang menyisakan luka sejarah dan distorsi identitas. Tapi masyarakat Dayak tidak diam. Melalui kekuatan literasi dan semangat menulis dari dalam, mereka kini bangkit, memperbaiki sejarah, dan membangun narasi baru yang adil dan membanggakan.

Dari diam menjadi bersuara. Dari dibingkai menjadi pembingkai. Dari dibaca menjadi penulis sejarah mereka sendiri.

Baca Sastrawan Dayak, Siapa saja Mereka dan Karyanya?


๐Ÿ“Œ Untuk kolaborasi publikasi, diskusi akademik, atau pengembangan riset budaya Dayak, silakan hubungi: masrisarebputra[@]email.com

LihatTutupKomentar