Sastrawan Dayak, Siapa saja Mereka dan Karyanya?
Sastrawan Dayak. cover buku LLD. |
Sastra Dayak, sebagai bagian dari khazanah budaya Indonesia, menawarkan perspektif unik tentang kehidupan, nilai-nilai, dan sejarah masyarakat Dayak.
Sastrawan Dayak didefinisikan sebagai penulis keturunan Dayak yang menciptakan karya sastra menggunakan bahasa, gaya, dan simbolisme yang terinspirasi dari tradisi lisan dan kitab-kitab suci, bukan bahasa sehari-hari, untuk menggambarkan kehidupan dan identitas Dayak.
Baca Literasi Dayak : Dayak Menulis dari Dalam
Karya-karya ini tidak hanya menjadi cerminan budaya, tetapi juga jembatan yang menghubungkan generasi masa kini dengan warisan leluhur. Salah satu tonggak penting dalam sastra Dayak adalah epos Lawe karya Ding Ngo, yang disebut sebagai "Mahabharata-nya orang Kayan," diterbitkan oleh Gadjahmada University Press pada 1984-1985 dalam lima volume.
Definisi dan Konteks Sastra Dayak
Sastra Dayak memiliki karakteristik khas yang membedakannya dari aliran sastra Indonesia lainnya. Menurut Masri Sareb Putra (2015), sastra Dayak adalah karya yang ditulis oleh penulis keturunan Dayak, menggunakan bahasa yang kaya akan metafora, simbolisme, dan narasi epik yang mengacu pada tradisi lisan masyarakat Dayak.
Karya-karya para sastrawan Dayak sering kali mengangkat tema-tema seperti hubungan manusia dengan alam, mitologi, dan nilai-nilai adat.
Salah satu ciri utama adalah penggunaan bahasa yang lebih puitis dan formal, berbeda dari bahasa sehari-hari, sebagaimana terlihat dalam karya Ding Ngo.
Baca Industri Buku pada Era The New Media
Epos Lawe, misalnya, merupakan karya monumental yang menggambarkan kisah epik masyarakat Kayan dengan gaya naratif yang mendalam. Diterbitkan dalam lima volume, karya ini tidak hanya menjadi bukti kreativitas sastra Dayak, tetapi juga menandai kebangkitan kesadaran literatur di kalangan masyarakat Dayak. Ding Ngo, sebagai pelopor, membuka jalan bagi generasi sastrawan Dayak berikutnya untuk mengeksplorasi identitas budaya mereka melalui tulisan.
Tokoh-Tokoh Sastrawan Dayak
Menurut Korrie Layun Rampan dan Masri Sareb Putra (2016), sejak masa kemerdekaan Indonesia, sejumlah sastrawan Dayak telah memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan sastra Indonesia. Berikut adalah beberapa tokoh penting yang disebutkan dalam daftar mereka:
Fridolin Ukur: Sebagai salah satu sastrawan Dayak awal, Ukur dikenal karena karya-karyanya yang menggambarkan nilai-nilai spiritual dan kearifan lokal masyarakat Dayak. Tulisannya sering kali mencerminkan perjuangan mempertahankan identitas budaya di tengah modernisasi.
Ding Ngo: Pelopor sastra epik Dayak, Ding Ngo menulis epos Lawe, yang menjadi karya referensi utama dalam sastra Dayak. Dedikasinya dalam mendokumentasikan tradisi lisan Kayan menjadikannya figur sentral dalam literatur Dayak.
Korrie Layun Rampan: Selain sebagai sastrawan, Rampan juga dikenal sebagai penggagas Angkatan 2000 dalam sastra Indonesia. Karyanya mencakup puisi, cerpen, dan novel yang mengangkat tema-tema Dayak dengan gaya modern.
R. Masri Sareb Putra: Penulis dan peneliti, Masri telah menghasilkan karya-karya yang mendokumentasikan tokoh-tokoh Dayak dan perkembangan sastra Dayak, termasuk buku 101 Tokoh Dayak Jilid 1.
Tawi Ballai, JJ. Kusni, Alexander Mering, dan Lainnya: Sastrawan-sastrawan ini memperkaya sastra Dayak dengan berbagai genre, mulai dari puisi hingga prosa, yang menggambarkan kehidupan masyarakat Dayak di berbagai wilayah Kalimantan.
Daftar ini terus bertambah dengan munculnya sastrawan muda seperti Yuni Nurmalia, Sandy Firly, dan Helwatin Najwa, yang membawa perspektif baru dalam sastra Dayak, termasuk isu-isu kontemporer seperti lingkungan dan globalisasi.
Baca 1990-an Geliat Dayak Menulis dari Dalam
Perkembangan Sastra Dayak
Perkembangan sastra Dayak tidak lepas dari konteks sosial dan budaya di Kalimantan. Pasca-kemerdekaan, kesadaran akan identitas budaya Dayak mendorong munculnya karya-karya literatur yang bertujuan melestarikan tradisi lisan. Menurut Rampan dan Masri (2018), sastra Dayak tidak hanya berfungsi sebagai ekspresi seni, tetapi juga sebagai alat untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, termasuk hak atas tanah dan sumber daya alam.
Pada era modern, sastrawan Dayak mulai menggunakan media baru, seperti penerbitan daring dan media sosial, untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Karya-karya seperti puisi Yuni Nurmalia atau novel-novel pendek Sandy Firly menunjukkan adaptasi sastra Dayak terhadap perkembangan zaman tanpa kehilangan akar budayanya.
Tantangan dan Masa Depan Sastra Dayak
Meskipun telah memberikan kontribusi besar, sastra Dayak masih menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, keterbatasan akses terhadap penerbitan dan distribusi membuat banyak karya sastrawan Dayak kurang dikenal di tingkat nasional. Kedua, globalisasi dan modernisasi mengancam kelestarian tradisi lisan yang menjadi sumber inspirasi utama sastra Dayak. Ketiga, kurangnya dukungan institusional, seperti pendanaan untuk penelitian dan penerbitan, menghambat perkembangan sastra ini.
Namun, masa depan sastra Dayak tetap cerah. Dengan munculnya sastrawan muda dan meningkatnya kesadaran akan pentingnya pelestarian budaya, sastra Dayak berpotensi menjadi salah satu pilar penting dalam sastra Indonesia. Lembaga seperti Lembaga Literasi Dayak di Palangka Raya terus berupaya mendokumentasikan dan mempromosikan karya-karya sastrawan Dayak.
Sastra Dayak adalah cerminan jiwa
Sastra Dayak adalah cerminan jiwa dan budaya masyarakat Dayak, yang kaya akan nilai-nilai kearifan lokal, spiritualitas, dan hubungan harmonis dengan alam. Dari epos Lawe karya Ding Ngo hingga karya-karya kontemporer sastrawan muda, sastra Dayak terus berkembang sebagai bentuk ekspresi identitas budaya.
Baca Buku sebagai Pusat Perhatian Jika Orang Dayak Berkumpul Hari Ini
Dengan dukungan yang memadai, sastra ini dapat terus hidup dan menjadi bagian integral dari khazanah sastra Indonesia. Seperti kata Ding Ngo, “Sastra adalah napas budaya, dan budaya adalah napas kehidupan.”
- Rangkaya Bada