Literasi Perang bagi Suku Dayak: Mewarisi Kesombongan dan Keserakahan, Menolak Kekerasan
Dayak kini cinta damai dan beradab, dulu sukubangsa pengayau by AI.
Dulu, hingga tahun 1894 Perjanjian Damai Tumbang Anoi, Dayak dicap “headhunter.” Kini Dayak beradab dan cinta damai. Malah negara-negara maju yang mempraktikkan “hakayau,” saling bunuh, di saat Dayak seabad lalu telah meninggalkannya.
Ketika perang di Timur Tengah menggema di layar gawai kita, dan ancaman Perang Dunia III membayang dalam setiap diskusi media, ada suara yang terasa jauh namun sesungguhnya dekat: suara dari belantara Borneo.
Suara itu berasal dari komunitas-komunitas Dayak yang dahulu berabad-abad membangun peradaban damai, meski dunia luar mengenang mereka sebagai suku "pejuang."
Baca Literasi Dayak : Dayak Perlu Menulis "Dari dalam"
Literasi perang bagi orang Dayak bukan berarti mengagungkan kekerasan. Bukan glorifikasi kepala musuh yang tergantung di tiang rumah panjang. Tapi pemahaman mendalam, reflektif, dan filosofis tentang kekuasaan, kejahatan, perlawanan, dan harapan.
Di tengah narasi global yang membingkai perang sebagai tontonan media dan realitas politik, suku Dayak diajak kembali menafsirkan ulang makna perang dalam sejarah mereka sendiri—dan bagaimana ia menjadi pelajaran untuk masa kini dan masa depan.
Perang sebagai Warisan Memori Kolektif: Bukan Kebanggaan, Tapi Peringatan
Suku Dayak, dalam berbagai subetnisnya, memang mengenal dunia peperangan. Kepala musuh dipersembahkan bukan karena kekejaman semata, tetapi sebagai bentuk simbolis pertahanan wilayah dan martabat komunitas. Tapi bahkan dalam itu pun, perang tidak pernah menjadi cita-cita hidup.
Ngayau adalah pilihan terakhir, bukan tujuan utama. Dan ketika damai ditawarkan, ia lebih dihargai daripada darah.
Berbeda dengan fasisme Hitler atau kerakusan VOC, literasi perang Dayak mengajarkan bahwa kekuatan sejati adalah kemampuan mengendalikan amarah, bukan melepaskannya secara liar. Kearifan ini tampak dalam berbagai bentuk adat: dari upacara perdamaian (besapat) hingga struktur sosial yang sangat menghargai musyawarah (bepakat).
Baca Sastrawan Dayak, Siapa saja Mereka dan Karyanya?
Jika dunia hari ini seolah bermain-main dengan bara konflik geopolitik, maka literasi perang Dayak bisa menjadi pelajaran penting: bahwa perang bukan keberanian, melainkan kegagalan tertinggi dari akal sehat dan kemanusiaan.
Menggali Tiga Pelajaran Sejarah dari Perspektif Dayak
Pelajaran sejarah dari tokoh-tokoh besar yang jatuh—Firaun, Nero, Hitler, dan VOC—menemukan resonansi mendalam dalam kisah-kisah Dayak. Mari kita telaah ulang dari kacamata belantara Kalimantan.
1. Kejahatan Akan Dilawan
Dayak bukan kaum penakut. Seperti bangsa Israel yang melawan Firaun, rakyat Dayak pernah melawan VOC di berbagai daerah: dari Kapuas Hulu, Ketapang, sampai Kutai. Bahkan ketika senjata api diganti dengan rotan dan tombak, semangat untuk mempertahankan tanah, hutan, dan harga diri tetap menyala.
Hari ini, bentuknya mungkin bukan perang fisik, melainkan perang literasi, hukum, dan advokasi. Ketika hutan dibabat, ketika sungai diracuni, ketika tanah ulayat dijual paksa, suku Dayak bangkit dengan pena, mikrofon, dan kamera. Mereka menolak tunduk. Mereka mengabarkan bahwa kejahatan ekologis pun adalah bentuk kolonialisme baru.
2. Struktur yang Menindas Akan Runtuh
VOC runtuh karena keserakahannya. Demikian juga struktur yang menindas suku Dayak: mulai dari tanam paksa, eksploitasi SDA, hingga marginalisasi di dalam sistem negara modern. Tapi struktur seperti itu, kita tahu, tak pernah abadi.
Jika orang Dayak hari ini melek hukum, digital, dan ekonomi—itu karena mereka belajar dari keruntuhan sebelumnya. Mereka tahu bahwa eksistensi bukan sekadar mempertahankan identitas, tetapi membentuk sistem tandingan yang adil dan berkelanjutan. Koperasi, Credit Union, sekolah adat, hingga media komunitas—semuanya adalah bentuk perlawanan struktural, bukan sekadar retorika.
3. Harapan adalah Senjata Terkuat
Harapan bagi orang Dayak bukan sekadar doa. Ia hadir dalam bentuk rumah panjang yang terus dibangun ulang, bahasa ibu yang diajarkan di tengah serbuan bahasa nasional dan asing, dan budaya yang ditenun di setiap helai kain ikat atau tato bunga terong.
Baca Literasi Dayak : Dayak Perlu Menulis "Dari dalam"
Seperti umat Kristen awal yang bertahan di bawah Nero, atau White Rose yang menyebarkan pamflet anti-Hitler, orang Dayak hari ini menyebarkan harapan lewat literasi: tulisan, film dokumenter, blog, panggung budaya. Mereka percaya bahwa meski dunia bisa hancur karena perang, harapanlah yang akan menyelamatkan peradaban.
Dari Dayak untuk Dunia: Literasi Perang sebagai Literasi Damai
Maka, ketika dunia hari ini sibuk memperdebatkan perang, ancaman nuklir, dan konflik antar-negara, apa kontribusi orang Dayak?
Jawabannya: literasi damai.
Suku Dayak punya sejarah panjang tentang bagaimana mempertahankan martabat tanpa kehilangan kemanusiaan. Mereka bisa menjadi jembatan antara dunia modern yang rakus dan dunia spiritual yang penuh keseimbangan. Mereka bisa menjadi pengingat bahwa perang bukanlah hiburan, dan bahwa tidak semua yang bersenjata adalah kuat.
Justru dari pedalaman, dari rumah panjang, dari komunitas yang kerap disebut "tertinggal," lahirlah narasi alternatif: bahwa damai itu bukan kelemahan, tetapi bentuk tertinggi dari kebijaksanaan.
Melawan dengan Ingatan, Menang dengan Harapan
Literasi perang bagi orang Dayak bukan hanya mengenang bagaimana mereka pernah bertempur. Tapi bagaimana mereka belajar untuk tidak lagi bertempur dengan cara yang sama. Mereka belajar bahwa peradaban dibangun bukan di atas tumpukan mayat, melainkan di atas tumpukan buku, hukum, dan dialog.
Mereka tidak akan tertipu oleh narasi perang yang dikemas sinematis. Mereka tahu bahwa siapa pun yang memulai perang, ujungnya adalah penderitaan.
Dan karena itu, mereka melawan. Bukan dengan tombak, tapi dengan ingatan, akal, dan harapan.
Suku Dayak tahu:
Perang bukan jalan keluar.
Damai yang adil adalah kemenangan sejati.
-- Masri Sareb Putra