Literasi Dayak : Dayak Perlu Menulis "Dari dalam"

Dayak, literasi, digital, community-based legal framework, clickbait, digital sovereignty, autoetnografi, Dayak Research Center (DRC), Filsafat Dayak

 

Logo Literasi Dayak seperei di WAG oleh Matius Mardani.

Peneliti        : Masri Sareb Putra, M.A.

Tanggal rilis: 06 Juni 2025


1. Pendahuluan

Literasi bukan sekadar keterampilan dasar membaca dan menulis. Bagi masyarakat Dayak, literasi adalah jendela untuk menyuarakan identitas, menegaskan eksistensi, serta membebaskan diri dari narasi dominan yang selama ini dibangun pihak luar. Tradisi lisan yang selama ribuan tahun menjadi penyangga peradaban Dayak kini menghadapi tantangan modernisasi, globalisasi, dan invasi digital. Namun, justru dari dalam arus deras perubahan itu, kita menyaksikan lahirnya kesadaran baru: orang Dayak mulai menulis dari dalam.

Baca Buku sebagai Pusat Perhatian Jika Orang Dayak Berkumpul Hari Ini

Literasi Dayak bukanlah produk instan. Ia merupakan buah dari proses panjang, kontemplatif, dan reflektif atas sejarah, identitas, perjuangan, dan aspirasi. Ini adalah gerakan kultural dan intelektual yang muncul dari akar, bukan dari pusat kekuasaan. Ia tidak dimotori oleh institusi luar, melainkan digerakkan oleh kebutuhan internal untuk mendokumentasikan, menafsirkan ulang, dan menegaskan ulang keberadaan Dayak sebagai subjek sejarah.


2. Sejarah Singkat Literasi Dayak

Jejak literasi Dayak sesungguhnya sudah sangat tua. Batu-batu Yupa dari Kerajaan Kutai abad ke-4 Masehi menjadi bukti paling awal kemampuan dokumentasi dalam bentuk tulisan. Namun setelah itu, selama berabad-abad, warisan literasi Dayak berlangsung dalam bentuk lisan: tembawang, pantun, nyanyian pengobatan, hukum adat yang diwariskan lewat para mantir, dan simbol-simbol visual seperti tato, anyaman, serta ornamen rumah panjang.

Baca Sastrawan Dayak, Siapa saja Mereka dan Karyanya?

Namun, kolonialisme dan pendidikan formal bergaya Barat justru menempatkan bahasa dan budaya Dayak sebagai inferior. Bahasa daerah ditekan. Buku pelajaran tidak memuat narasi lokal. Bahkan dalam literatur akademik, Dayak lebih banyak ditulis oleh para antropolog Eropa dan peneliti luar yang menjadikan masyarakat ini sebagai objek studi, bukan subjek pengetahuan.

Deklarasi Literasi Dayak: salah satu tonggak yang kemudian melahirkan WAG dan media digital berbasis akar rumput Literasi Dayak. Dok. Masri Sareb. 

Deklarasi Literasi Dayak Borneo di Batu Ruyud, Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara pada 2 November 2022 adalah tonggak penting dalam sejarah Dayak Borneo.



3. Titik Balik: Kebangkitan Literasi Dayak Kontemporer

Dekade 1990-an menjadi titik balik. Gerakan akar rumput mulai muncul. Lahir penulis-penulis Dayak seperti Yohanes Supriyadi, Yansen TP, hingga generasi berikutnya seperti Ridwan (Pontianak), Stepanus Yulianus, dan puluhan lainnya. Mereka tidak hanya menulis puisi atau cerpen, tetapi juga sejarah lokal, hukum adat, dan tafsir atas praktik budaya mereka sendiri.

Tahun 2025, diluncurkan buku monumental The History of Dayak oleh Prof. Tiwi Etika dan Masri Sareb Putra, M.A., diterbitkan Lembaga Literasi Dayak. Buku ini disusun dari riset etnografis, wawancara sejarah lisan, dan analisis kritis terhadap literatur kolonial. Peluncuran buku ini disambut antusias karena untuk pertama kalinya orang Dayak sendiri menuliskan sejarah mereka dari dalam, dengan cara pandang mereka sendiri.

Baca Mgr. Agustinus Agus, M.A. : Motivator ala Anak Kampung


4. Literasi sebagai Perlawanan dan Emansipasi

Literasi Dayak kontemporer merupakan bentuk perlawanan epistemik yang terukur dan sadar terhadap praktik-praktik hegemoni pengetahuan. Ia adalah bentuk artikulasi kultural yang melampaui sekadar dokumentasi: ia adalah proses dekolonisasi wacana, di mana orang Dayak tidak lagi diposisikan sebagai objek naratif, tetapi mengambil alih posisi sebagai produsen makna.

Baca 1990-an Geliat Dayak Menulis dari Dalam

Dalam ranah teori kritis, ini sejalan dengan gagasan Paulo Freire tentang pedagogi kaum tertindas, di mana pendidikan dan literasi menjadi jalan menuju kesadaran kritis (conscientization). Menulis, dalam konteks ini, bukan sekadar ekspresi, melainkan tindakan politis dan etis untuk memulihkan relasi kuasa yang timpang. Ia menjadi medium untuk memperjuangkan hak atas tanah, lingkungan hidup, bahasa ibu, dan keberlanjutan nilai-nilai komunal.

Setiap karya tulis Dayak adalah bentuk intervensi dalam ruang diskursif nasional dan global. Ia menegaskan eksistensi Dayak sebagai entitas budaya yang hidup, dinamis, dan mampu memformulasikan agenda historis dan ekologisnya sendiri.


5. Literasi Digital: Peluang dan Tantangan

Literasi digital tidak sekadar mencerminkan kecakapan teknis dalam mengakses dan memproduksi informasi di ruang daring. Ia adalah penanda epistemik atas transformasi cara berpikir, cara memahami dunia, dan cara masyarakat menempatkan dirinya dalam sejarah. Dalam kerangka ini, literasi digital Dayak mesti dibaca sebagai fase krusial dalam evolusi kesadaran kolektif masyarakat Dayak menuju subjek pengetahuan yang otonom, artikulatif, dan visioner.

Baca Strategi Kebudayaan Dayak di Tengah Arus Modernitas: Inspirasi dari Komunitas Tionghoa

Di tengah lanskap digital yang ditandai oleh hiperkomputasi, kapitalisme platform, dan hegemoni algoritmik, platform digital telah menjadi arena kontestasi epistemologis. Platform bukanlah sekadar medium netral, melainkan medan ideologis di mana representasi, narasi, dan kuasa dipertarungkan. Dalam konteks ini, partisipasi masyarakat Dayak dalam ruang digital harus dimaknai sebagai bagian dari perjuangan kultural untuk merebut ruang artikulasi, menegosiasikan identitas, dan membangun knowledge system yang berakar pada nilai-nilai lokal namun mampu menjangkau kompleksitas global.

Model literasi digital yang hanya bersifat adaptif dan reproduktif tidak lagi memadai. Yang dibutuhkan adalah model literasi digital yang transformatif, yaitu model yang tidak hanya merespons teknologi, tetapi memproduksi makna baru melalui teknologi. Literasi transformatif ini tidak hanya mengarsipkan warisan budaya, tetapi merancang infrastruktur digital berbasis adat, nilai, dan ekologi lokal. Sebagai contoh, digitalisasi hukum adat Dayak tidak boleh berhenti pada dokumentasi, tetapi harus menjadi basis bagi penciptaan community-based legal framework yang relevan untuk menyelesaikan konflik kontemporer, baik di bidang agraria, sosial, maupun ekologis. Dalam hal ini, teknologi tidak menjadi instrumen pasif, melainkan diperankan sebagai mediator kebudayaan—penghubung antara memori kolektif dan inovasi sosial.

Baca Dayak Litracy Family : Keluarga Literasi Dayak

Tradisi lisan Dayak yang selama ini menjadi tulang punggung transmisi nilai dan kearifan komunitas kini memiliki kesempatan untuk mengalami metamorfosis melalui media digital: podcast, vlog, film dokumenter, animasi lokal, hingga eksplorasi teknologi AI sebagai pendukung artikulasi identitas. Pemanfaatan AI writing tools, misalnya, dapat diarahkan untuk mengembangkan narasi-narasi adat, mitologi lokal, dan sejarah sub-suku Dayak dalam bentuk-bentuk baru yang lebih akrab dengan generasi digital.

Namun, segala potensi ini tidak hadir dalam ruang kosong. Ia bertumbuh dalam struktur kekuasaan digital yang sangat asimetris. Algoritma platform global didesain untuk mendorong konten yang viral, cepat dikonsumsi, dan bernilai komersial tinggi. Narasi Dayak yang mengandung kedalaman historis, kompleksitas nilai, dan kekayaan filosofis kerap terpinggirkan karena tidak kompatibel dengan logika clickbait. Maka, tanpa strategi kebudayaan yang cermat dan jangka panjang, literasi digital justru bisa menjadi alat reproduksi marginalisasi kultural dalam format baru.

Baca Narasi tentang Dayak untuk Branding dan untuk Hidup

Untuk itu, diperlukan intervensi strategis pada tiga level utama:

  1. Kapital Sosial Digital: Pembangunan kapasitas komunitas Dayak untuk menguasai teknologi digital secara kritis. Ini mencakup pelatihan konten kreatif, literasi data, etika digital, serta pemanfaatan teknologi untuk pengorganisasian komunitas.

  2. Kurasi dan Ekosistem Konten: Perlu adanya content governance berbasis komunitas, yang memastikan narasi-narasi Dayak diproduksi, disebarluaskan, dan dikurasi oleh aktor-aktor lokal secara partisipatif dan berkelanjutan. Lembaga seperti Dayak Research Center (DRC) dan berbagai komunitas adat dapat berperan sebagai kurator pengetahuan yang mengikat konten digital dengan tanggung jawab budaya.

  3. Kedaulatan Infrastruktur Digital: Dalam jangka panjang, perlu dibayangkan bentuk-bentuk digital sovereignty Dayak, yaitu kontrol atas data, platform, dan sistem pengetahuan digital sendiri. Ini mencakup server lokal, arsip digital komunitas, dan mungkin ke depan: Dayak Digital Commons sebagai repositori bersama pengetahuan lokal dalam format terbuka dan kolaboratif.

Jika strategi ini dijalankan dengan kerangka epistemik yang kuat dan etos kultural yang jernih, literasi digital Dayak bukan hanya akan memperkuat ekspresi kebudayaan, tetapi juga menjadi jalan menuju kedaulatan pengetahuan yang memungkinkan masyarakat Dayak menjadi subjek penuh dalam lanskap digital global. Lebih dari sekadar bertahan, orang Dayak akan tampil sebagai produsen peradaban digital yang membawa pesan ekologis, spiritualitas kosmik, dan visi harmoni yang sangat dibutuhkan dalam dunia yang sedang mengalami krisis kebermaknaan.

Baca Mugeni: Buku sebagai Kado


6. Kongres Internasional Literasi Dayak I: Menyatukan Visi

Pada Oktober 2022, munculnya Literasi Dayak digaungkan di Batu Ruyud, Krayan, Nunukan. Ini adalah pertemuan intelektual kampus dan kampung yang mempertemukan akademisi, sastrawan, aktivis, jurnalis, dan tokoh adat dari Indonesia, Malaysia, dan diaspora Dayak global.

Empat hasil penting:

  1. Deklarasi Literasi Dayak sebagai gerakan sekaligus penguatan kultural lintas batas negara.

  2. Pendirian Sekretariat Literasi Dayak di Sekadau dan Nunukan.

  3. Rencana penerbitan tahunan buku-buku lokal dan antologi penulis muda Dayak.

  4. Komitmen penyelenggaraan Kongres II pada tahun 2026, dengan fokus digitalisasi dan internasionalisasi warisan literasi Dayak.


7. Strategi Pengembangan Literasi Dayak

Untuk memperkuat dan memperluas gerakan ini, diperlukan strategi lintas sektor:

  • Pendidikan Multibahasa dan Multikultural: Bahasa Dayak harus masuk kurikulum lokal sejak pendidikan dasar. Guru harus dilatih untuk mengintegrasikan kearifan lokal dalam pengajaran.

  • Perpustakaan Kampung dan Digitalisasi Arsip Adat: Koleksi cerita rakyat, hukum adat, dan kisah-kisah lokal harus didokumentasikan dan diakses secara terbuka.

  • Penerbitan Komunitas dan Ekonomi Kreatif: Didorong berdirinya koperasi penerbitan yang berorientasi pada kemandirian ekonomi penulis Dayak.

  • Kemitraan Strategis: Kolaborasi antara universitas, NGO, pemerintah daerah, dan sektor swasta diperlukan untuk keberlanjutan.

  • Literasi Digital dan AI: Orang Dayak perlu dilatih menggunakan teknologi digital dan AI untuk mendukung proses menulis, menerbitkan, dan menyebarluaskan karya mereka.

Literasi digital tidak sekadar mencerminkan kecakapan teknis dalam mengakses dan memproduksi informasi di ruang daring. Ia adalah penanda epistemik atas transformasi cara berpikir, cara memahami dunia, dan cara masyarakat menempatkan dirinya dalam sejarah. Dalam kerangka ini, literasi digital Dayak mesti dibaca sebagai fase krusial dalam evolusi kesadaran kolektif masyarakat Dayak menuju subjek pengetahuan yang otonom, artikulatif, dan visioner.

Baca Marion : Pemusik Dayak dan Kritik Sosial ala Iwan Fals

Di tengah dunia digital yang ditandai oleh hiperkomputasi, kapitalisme platform, dan hegemoni algoritmik, platform digital telah menjadi arena kontestasi epistemologis. Platform bukanlah sekadar medium netral, melainkan medan ideologis di mana representasi, narasi, dan kuasa dipertarungkan. Dalam konteks ini, partisipasi masyarakat Dayak dalam ruang digital harus dimaknai sebagai bagian dari perjuangan kultural untuk merebut ruang artikulasi, menegosiasikan identitas, dan membangun knowledge system yang berakar pada nilai-nilai lokal namun mampu menjangkau kompleksitas global.

Model literasi digital yang hanya bersifat adaptif dan reproduktif tidak lagi memadai. Yang dibutuhkan adalah model literasi digital yang transformatif, yaitu model yang tidak hanya merespons teknologi, tetapi memproduksi makna baru melalui teknologi. Literasi transformatif ini tidak hanya mengarsipkan warisan budaya, tetapi merancang infrastruktur digital berbasis adat, nilai, dan ekologi lokal. Sebagai contoh, digitalisasi hukum adat Dayak tidak boleh berhenti pada dokumentasi, tetapi harus menjadi basis bagi penciptaan community-based legal framework yang relevan untuk menyelesaikan konflik kontemporer, baik di bidang agraria, sosial, maupun ekologis. Dalam hal ini, teknologi tidak menjadi instrumen pasif, melainkan diperankan sebagai mediator kebudayaan, yakni menjadi penghubung antara memori kolektif dan inovasi sosial.

Baca Adat Orang Dayak: Tidak Boleh Meludah Sembarangan Apalagi di Depan Kerumunan

Tradisi lisan Dayak yang selama ini menjadi tulang punggung transmisi nilai dan kearifan komunitas kini memiliki kesempatan untuk mengalami metamorfosis melalui media digital: podcast, vlog, film dokumenter, animasi lokal, hingga eksplorasi teknologi AI sebagai pendukung artikulasi identitas. Pemanfaatan AI writing tools, misalnya, dapat diarahkan untuk mengembangkan narasi-narasi adat, mitologi lokal, dan sejarah sub-suku Dayak dalam bentuk-bentuk baru yang lebih akrab dengan generasi digital.

Namun, segala potensi ini tidak hadir dalam ruang kosong. Ia bertumbuh dalam struktur kekuasaan digital yang sangat asimetris. Algoritma platform global didesain untuk mendorong konten yang viral, cepat dikonsumsi, dan bernilai komersial tinggi. Narasi Dayak yang mengandung kedalaman historis, kompleksitas nilai, dan kekayaan filosofis kerap terpinggirkan karena tidak kompatibel dengan logika clickbait. Karena itu, tanpa strategi kebudayaan yang cermat dan jangka panjang, literasi digital justru bisa menjadi alat reproduksi marginalisasi kultural dalam format baru.

Untuk itu, diperlukan intervensi strategis pada tiga level utama:

  1. Kapital Sosial Digital: Pembangunan kapasitas komunitas Dayak untuk menguasai teknologi digital secara kritis. Ini mencakup pelatihan konten kreatif, literasi data, etika digital, serta pemanfaatan teknologi untuk pengorganisasian komunitas.

  2. Kurasi dan Ekosistem Konten: Perlu adanya content governance berbasis komunitas, yang memastikan narasi-narasi Dayak diproduksi, disebarluaskan, dan dikurasi oleh aktor-aktor lokal secara partisipatif dan berkelanjutan. Lembaga seperti Dayak Research Center (DRC) dan berbagai komunitas adat dapat berperan sebagai kurator pengetahuan yang mengikat konten digital dengan tanggung jawab budaya.

  3. Kedaulatan Infrastruktur Digital: Dalam jangka panjang, perlu dibayangkan bentuk-bentuk digital sovereignty Dayak, yaitu kontrol atas data, platform, dan sistem pengetahuan digital sendiri. Ini mencakup server lokal, arsip digital komunitas, dan mungkin ke depan: Dayak Digital Commons sebagai repositori bersama pengetahuan lokal dalam format terbuka dan kolaboratif.

Jika strategi ini dijalankan dengan kerangka epistemik yang kuat dan etos kultural yang jernih, literasi digital Dayak bukan hanya akan memperkuat ekspresi kebudayaan, tetapi juga menjadi jalan menuju kedaulatan pengetahuan yang memungkinkan masyarakat Dayak menjadi subjek penuh dalam lanskap digital global. Lebih dari sekadar bertahan, orang Dayak akan tampil sebagai produsen peradaban digital yang membawa pesan ekologis, spiritualitas kosmik, dan visi harmoni yang sangat dibutuhkan dalam dunia yang sedang mengalami krisis kebermaknaan.

Baca Industri Buku pada Era The New Media

8. Kesimpulan

Gerakan literasi Dayak adalah kebangkitan dari dalam. Ia tidak lahir dari intervensi luar, melainkan dari kehendak kolektif untuk menulis, mengingat, dan merancang masa depan. Literasi Dayak adalah jalan peradaban. Ini adalah wujud dari autoetnografi kolektif, di mana masyarakat menjadi penulis, penerbit, sekaligus pembaca bagi dirinya sendiri.

Baca 4 Fobia Penulis Pemula dan Kiat Mengatasinya

Dengan menulis dari dalam, orang Dayak tidak hanya memulihkan martabatnya, tetapi juga menancapkan peta budayanya dalam jagat literasi global. Masa depan orang Dayak tergantung pada sejauh mana mereka mampu menguasai narasi—dan itu hanya mungkin jika mereka terus menulis, membaca, berpikir, dan menerbitkan.


Rekomendasi

  1. Pemerintah daerah perlu menyediakan dana khusus untuk pengembangan literasi lokal berbasis komunitas.

  2. Perlu penyusunan kebijakan bahasa dan literasi daerah di Kalimantan.

  3. Dalam upaya memperkuat kajian kebudayaan lokal dan memperluas cakrawala keilmuan berbasis kearifan lokal, perguruan tinggi perlu membuka Program Studi Kajian Dayak dan Sastra Adat, atau setidaknya membentuk Pusat Kajian Dayak. Langkah strategis ini telah diinisiasi oleh Institut Teknologi Keling Kumang (ITKK) di Sekadau pada tanggal 4 Januari 2025 melalui pendirian Dayak Research Center (DRC). Pusat kajian ini tidak hanya menjadi wadah akademik untuk penelitian dan pengembangan kebudayaan Dayak, tetapi juga telah membangun media digital sebagai sarana diseminasi pengetahuan. Sebagai capaian awal, DRC meluncurkan karya perdana bertajuk Filsafat Dayak: Kajian Komprehensif atas Manusia, Alam, dan Sang Ada (ISBN 978-623-5890-95-1), yang merupakan hasil kolaborasi tujuh penulis lintas-negara. Karya ini menandai tonggak penting dalam upaya mengangkat filsafat dan kebudayaan Dayak ke ranah akademik global.

  4. Perlu ada insentif bagi penulis lokal, seperti beasiswa riset, residensi menulis, dan bantuan publikasi.

  5. Diperlukan peta jalan 10 tahun Literasi Dayak (2025–2035) yang dikawal lintas generasi.

LihatTutupKomentar