Mugeni: Buku sebagai Kado
Mugeni, dalam posisi santai. Ketika putrinya menikah, ia memberi tamu kado buku: 2.000 buku. Sesuatu banget. Dokumentasi: Mugeni/Gb. |
LiterasiDayak - PANGKALAN BUN: Mugeni namanya. Singkat saja.
Namun, lebih dari sekadar nama. Ia adalah simbol dari sebuah takdir yang menuntun langkahnya menuju dunia yang penuh dengan tantangan dan kejutan.
Lahir di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, pada tahun 1959, nama Mugeni seperti membawa kekuatan magis yang mengubah hidupnya. Nama itu bukan hanya sekadar identitas, melainkan sebuah petunjuk tentang arah hidup yang akan ditempuhnya—sebuah perjalanan yang tidak pernah ia duga sebelumnya.
Perjalanan hidupnya dimulai dari momen tak terduga, di mana sebuah nama yang sederhana menjadi pintu gerbang menuju banyak kemungkinan. Momen itu menunjukkan bagaimana nasib dan pilihan hidup seringkali berpadu dalam cara yang tak terprediksi.
Nama Mugeni seolah memberi tanda bahwa ia akan menjadi sosok yang lebih dari sekadar angka dalam sejarah—ia akan meninggalkan jejak yang tak terlupakan melalui kata-kata yang tertulis dan tindakan yang menginspirasi.
Menulis sebagai dedikasi didup
Sejak muda, Mugeni telah merasakan getaran kuat dalam dirinya untuk menjadi seorang penulis. Semangat menulisnya pertama kali menyala ketika ia kuliah di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin. Di sana, ia mulai menulis untuk berbagai media lokal, memanfaatkan setiap peluang untuk mengasah kemampuan menulisnya. Setiap tulisan yang ia buat bukan sekadar kata-kata, tetapi potongan-potongan pemikiran yang berusaha mengungkapkan pandangannya tentang kehidupan, kemanusiaan, dan kebudayaan.
Namun, perjalanan menulisnya tidak berhenti hanya sebagai hobi atau kegiatan sampingan. Pada tahun 2014, Mugeni menorehkan langkah besar dengan menerbitkan buku pertamanya, Berbagi dengan Sesama: Memberi dan Menerima.
Buku ini bukan hanya sekadar kumpulan kata-kata yang dirangkai menjadi kalimat, tetapi juga hasil olahan pikirannya yang dalam tentang arti berbagi, memberi, dan menerima dalam kehidupan manusia. Paradoks bahasa yang ia gunakan dalam bukunya membuat pembaca merenung, seolah dihadapkan pada kenyataan hidup yang tak selalu sesuai dengan apa yang tampak di permukaan. Setiap kalimat dalam buku tersebut menjadi pengingat bahwa hidup ini penuh dengan lapisan makna yang harus dijelajahi dengan lebih dalam.
Mugeni bukan hanya sekadar menulis untuk diri sendiri, tetapi juga menulis untuk memberi pengaruh positif kepada masyarakat. Ia menyadari bahwa menulis bukan hanya tentang berbagi pemikiran, tetapi juga tentang membuka wawasan, menggerakkan hati, dan membangkitkan kesadaran kolektif. Setiap tulisan adalah sebuah undangan untuk melihat dunia dengan mata hati yang lebih tajam, mengungkap keindahan dalam kesederhanaan yang sering terlupakan.
Membawa Literasi ke dalam hehidupan nyata
Selain kegigihannya dalam dunia tulis-menulis, Mugeni juga memiliki latar belakang pendidikan yang solid di bidang hukum. Gelar S-1 dan S-2 di bidang Hukum Tata Negara menjadi fondasi yang kokoh untuk karier akademik dan profesionalnya. Meskipun ia memiliki gelar doktor di bidang hukum, dunia literasi tetap menjadi tempat di mana Mugeni menemukan makna yang lebih dalam.
Mugeni tidak hanya berperan sebagai penulis, tetapi juga sebagai seorang pemimpin yang peduli terhadap pentingnya literasi. Ketika ia menjabat sebagai Bupati Barito Selatan pada tahun 2016, ia menggunakan posisinya untuk mengangkat literasi sebagai prioritas.
Tidak hanya berfokus pada pembangunan fisik, ia juga berusaha meningkatkan kualitas intelektual masyarakat melalui berbagai program literasi.
Salah satu contohnya adalah ketika ia membiayai riset dan memfasilitasi penerbitan buku Tajung Puting dalam Cerpen, yang menampilkan karya-karya dari 15 pengarang Dayak. Buku ini tidak hanya menceritakan kisah-kisah dari masyarakat Dayak, tetapi juga memperkenalkan kekayaan budaya mereka kepada dunia luar.
Sebagai bagian dari komitmennya terhadap literasi, Mugeni juga aktif mendukung peluncuran buku-buku yang bertujuan menyebarkan pesan-pesan positif. Pada acara pernikahan anaknya, ia mencetak 2.000 buku yang berjudul Yang Muda Bercinta, yang Tua Bertobat. Buku ini adalah langkah simbolis untuk menunjukkan bahwa literasi tidak hanya hadir di ruang-ruang akademik atau pustaka, tetapi juga bisa menjadi bagian dari momen-momen penting dalam kehidupan.
Di luar itu, Mugeni juga mendirikan dan memimpin Komunitas Penulis Literasi Dayak di Kalimantan Tengah. Komunitas ini menjadi tempat berkumpulnya para penulis dari berbagai kalangan yang ingin berbagi ide, belajar, dan berkembang bersama. Dalam komunitas ini, Mugeni tidak hanya berbagi pengalaman, tetapi juga menjadi mentor yang mendorong generasi muda untuk terus menggali potensi diri melalui dunia literasi.
Inspirasi dalam kesederhanaan dan ketekunan
Di balik segala pencapaian dan dedikasinya, Mugeni adalah sosok yang selalu mendekatkan diri dengan masyarakat. Ketika menjabat sebagai Bupati Barito Selatan, ia sering terlihat mengayuh perahu dayung sendiri keliling daerah, berinteraksi langsung dengan penduduk. Simbol ini bukan hanya tentang kesederhanaan, tetapi juga tentang kedekatan dan pelayanan kepada masyarakat. Ia tidak ingin menjadi sosok yang jauh dari rakyatnya, melainkan seorang pemimpin yang bisa merasakan langsung kehidupan dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat.
Mugeni adalah contoh hidup dari sebuah perjalanan yang menunjukkan bahwa dengan kreativitas, ketekunan, dan kesederhanaan, seseorang bisa meraih kesuksesan yang luar biasa. Mueni mengajarkan kita bahwa setiap langkah kecil yang kita ambil dalam kehidupan ini, bila dilaksanakan dengan penuh semangat dan ketulusan, bisa menghasilkan dampak yang besar bagi diri sendiri dan orang lain.
Melalui karya-karyanya, Mugeni telah membuktikan bahwa literasi tidak hanya sekadar tentang membaca dan menulis, tetapi juga tentang memahami dan merasakan hidup dengan lebih mendalam.
-- Masri Sareb Putra