Dayak Menjawab Post Truth: Sejarah dan Pembentukan Identitas

 

Dayak Menjawab Post Truth: Sejarah dan Pembentukan Identitas
Ilustrasi by AI sesuai teks.

Dayak menjawab era post-truth dengan menggali sejarah, membentuk kembali identitas, dan “menulis dari dalam” melalui gerakan literasi serta publikasi.

Kita kini masuk Era post-truth ditandai dengan kondisi di mana fakta objektif kurang berpengaruh dibandingkan emosi dan keyakinan personal dalam membentuk opini publik. 


Istilah post-truth menjadi populer pada 2016, ditandai dengan peristiwa seperti Brexit dan pemilihan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat, bahkan dinobatkan sebagai word of the year oleh Oxford Dictionary

Fenomena Post-Truth dan Tantangannya

Di Indonesia, fenomena post-truth terlihat dalam penyebaran hoaks di media sosial, yang memengaruhi persepsi terhadap identitas budaya, termasuk masyarakat Dayak di Kalimantan.

Identitas Dayak, yang kaya akan sejarah dan budaya, sering terdistorsi oleh narasi yang tidak faktual, baik melalui media massa maupun wacana politik. 

Riset ini menganalisis bagaimana masyarakat Dayak merespons fenomena post-truth dalam mempertahankan dan membentuk identitas mereka, dengan menelusuri sejarah serta dinamika pembentukan identitas di era digital.

Post-truth didefinisikan sebagai situasi di mana emosi dan keyakinan pribadi lebih dominan daripada fakta objektif dalam membentuk opini publik (Keyes, 2004). Fenomena ini diperparah oleh media sosial, yang memungkinkan penyebaran informasi cepat tanpa verifikasi memadai. 

Baca 

Pengguna media sosial, khususnya digital natives, cenderung menyebarkan informasi tanpa memverifikasi kebenarannya, yang memperburuk distorsi identitas budaya. 

Dalam konteks Dayak, narasi tentang “keprimitifan” atau “keganasan” sering muncul di media, yang tidak hanya tidak akurat tetapi juga mengabaikan kekayaan budaya dan sejarah mereka.

Media sosial menjadi katalis utama dalam memperkuat post-truth. Hoaks tentang isu etnis atau politik sering memicu konflik sosial, termasuk di Kalimantan. Narasi yang keliru ini tidak hanya merugikan citra Dayak tetapi juga memperumit upaya mereka untuk mempertahankan identitas budaya di tengah arus informasi yang tidak terkontrol.

Sejarah dan Identitas Dayak

Suku Dayak adalah kelompok etnis asli Kalimantan, dengan subkelompok seperti Ngaju, Iban, dan Kayan. Identitas Dayak terbentuk dari warisan budaya, seperti ritual adat dan seni, serta pengalaman sejarah yang kompleks, termasuk kolonialisme, konflik etnis, dan marginalisasi. 

Baca Gua Niah Situs Bersejarah Bukti Ilmiah Asal Usul Dayak

Menurut Prof. Tiwi Etika dan Masri (2025), identitas Dayak telah mengalami transformasi sejak era pasca-Orde Baru, di mana politik budaya memainkan peran penting dalam membentuk kembali identitas kolektif mereka.

Pada masa kolonial Belanda dan Inggris, Dayak sering digambarkan sebagai “orang liar” oleh penjajah, sebuah narasi yang terus bergema hingga era modern. 

Pasca-kemerdekaan Indonesia, kebijakan transmigrasi dan eksploitasi sumber daya alam di Kalimantan memicu konflik, seperti konflik Sambas dan Sampit pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an. Konflik ini memperkuat stereotip negatif terhadap Dayak, yang sering dimanfaatkan dalam narasi post-truth untuk kepentingan politik atau ekonomi.

Namun, masyarakat Dayak tidak pasif. Mereka aktif memperjuangkan identitas mereka melalui revitalisasi budaya, seperti festival budaya, pendidikan adat, dan penggunaan media sosial untuk menyuarakan narasi otentik. Sillander (2016) menyebut proses ini sebagai bentuk resistensi terhadap marginalisasi dan upaya membangun identitas yang autentik di tengah modernisasi dan globalisasi.

Respons Dayak terhadap Post-Truth

Masyarakat Dayak menunjukkan berbagai respons terhadap fenomena post-truth yang memengaruhi identitas mereka. Salah satu strategi utama adalah melalui literasi budaya dan media. 

Baca Pemetaan Penulis Dayak dan Buku Ber-ISBN Mencapai Lebih dari 2.347 Judul

Buku Filsafat Dayak, Agama Asli Suku Dayak, The History of Dayak, penelitian oleh pakar Dayak tentang asal usulnya dan uji karbon situs bersejarah Gua Niah upaya akademik ujud respons Dayak pada post truth. Nyatanya, Dayak dapat menjadi dominan dalam pembentukan narasi suatu politik praktis juga di mana keyakinan dan kebenaran dipertaruhkan.

Dayak Kini Dikutip, Bukan Lagi Mengutip

Dayak kini memasuki babak baru dalam sejarah intelektualnya—mereka tidak lagi sekadar menjadi objek kajian, melainkan menjadi subjek aktif yang dikutip dalam wacana akademik, budaya, dan politik. Ini menandai pergeseran besar dari posisi pasif ke peran strategis dalam membentuk narasi tentang diri mereka sendiri. Ketika dulu suara Dayak dibingkai oleh lensa orang luar, kini suara itu muncul dari dalam, kuat dan jernih. Mereka berbicara dengan otoritas, tidak lagi dengan kata-kata yang dipinjamkan oleh pihak luar.

Transformasi ini sangat penting sebagai jawaban terhadap narasi-narasi lama yang dibangun dari luar—sering bias, eksotis, dan menyederhanakan kompleksitas budaya serta sejarah Dayak. Narasi semacam itu pernah mendominasi karena Dayak tidak memiliki akses terhadap alat-alat produksi pengetahuan, termasuk literasi dan media. Kini, dengan meningkatnya kesadaran kritis, pendidikan yang merata, serta kemampuan teknologi dan literasi, Dayak tidak hanya membaca—mereka juga menulis, menafsirkan, dan menerbitkan. Mereka menjadi sumber otoritatif bagi dunia tentang siapa mereka sebenarnya.

Baca Perang dan Dunia yang Terbalik

Hal yang belum bisa dilakukan di masa lampau, ketika sebagian besar Dayak masih dalam kondisi illiterate, kini dijawab dengan gerakan literasi yang masif dan sistematis. Melalui komunitas, lembaga adat, hingga perguruan tinggi, para intelektual Dayak mulai menulis dari dalam—menggali sejarah, merekam kearifan lokal, dan memublikasikannya. Ini bukan hanya strategi kebudayaan, melainkan juga bentuk perlawanan terhadap era post-truth yang kerap mereduksi identitas menjadi sekadar label. Kini, Dayak berdiri sebagai penulis, bukan catatan kaki.

Komunitas Dayak, terutama generasi muda, memanfaatkan platform seperti Instagram, YouTube, dan X untuk menyebarkan informasi tentang budaya, sejarah, dan nilai-nilai mereka. 

Akun seperti @dayakculture dan @dayaktoday mempromosikan, borneotrave.com,  kekayaan budaya Dayak, mulai dari tarian tradisional hingga filosofi adat seperti Kaharingan.

Organisasi seperti Institut Dayakologi di Pontianak, Penerbit Lembaga Literasi Dayak, Sinar Bagawan Khatulistiwa, Sandu, Pabayo; juga berperan besar dalam mendokumentasikan sejarah dan budaya Dayak. Lembaga literasi ini menerbitkan jurnal dan buku yang menjadi sumber rujukan untuk melawan narasi keliru. Dengan demikian, Dayak tidak hanya menjadi konsumen informasi tetapi juga produser narasi yang memperkuat identitas mereka.

Baca Logo, Literasi, dan Cita-Cita Besar LLD : Ketika Burung Enggang Terbang Tinggi Mencengkeram Buku

Pendidikan menjadi alat penting lainnya. Sekolah-sekolah di Kalimantan mulai memasukkan muatan lokal tentang budaya Dayak dalam kurikulum, membantu generasi muda memahami akar budaya mereka. Ini merupakan respons langsung terhadap narasi post-truth yang menggambarkan Dayak secara negatif. Pendekatan ini sejalan dengan Peursen yang menekankan pentingnyastrategi kebudayaan dalam mempertahankan identitas di era digital.

Tantangan dan Solusi

Meskipun telah ada upaya signifikan, masyarakat Dayak masih menghadapi tantangan dalam melawan post-truth. Rendahnya literasi digital di kalangan masyarakat pedesaan membuat mereka rentan terhadap hoaks. 

Di samping itu, dominasi narasi dari kelompok luar yang memiliki akses lebih besar ke media massa menjadi hambatan.

Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan pendekatan multifaset. 

Pertama, peningkatan literasi digital harus diprioritaskan, terutama di komunitas pedesaan Dayak, melalui pelatihan tentang verifikasi informasi dan pengenalan hoaks. 

Baca Tidak Semua yang di Internet itu: Benar

Kedua, kolaborasi dengan media mainstream untuk mempromosikan narasi positif tentang Dayak dapat mengurangi stereotip. Ketiga, pemerintah dan organisasi masyarakat sipil perlu mendukung inisiatif budaya, seperti festival dan pameran, untuk memperkuat identitas Dayak di mata publik.

Dayak melawan post-truth dan marginalisasi

Fenomena post-truth menciptakan tantangan baru bagi masyarakat Dayak dalam mempertahankan identitas mereka. Namun, melalui revitalisasi budaya, pemanfaatan media sosial, dan pendidikan, Dayak telah menunjukkan ketahanan dalam menjawab narasi keliru. Sejarah panjang mereka, yang penuh dengan perjuangan melawan marginalisasi, menjadi fondasi kuat untuk membangun identitas otentik di era digital. 

Dengan terus melakukan literasi budaya dan digital, masyarakat Dayak dapat mengambil kendali atas narasi mereka, memastikan identitas mereka tidak terdistorsi oleh post-truth.

-- Rangkaya Bada

LihatTutupKomentar