Dayak Menulis Dari Dalam | Mengapa Perlu?
Dayak Menulis "Dari Dalam": mengapa penting dan urgen? Ist. |
Oleh: Masri Sareb Putra
Dayak Menulis "Dari Dalam" adalah slogan yang dicanangkan pada tahun 2015 dan sejak itu menjadi tagline resmi Penerbit Lembaga Literasi Dayak.Rangkaian narasi ini akan menjelaskannya.
Saya kerap ditanya, “Pak Masri, bagaimana cara menjadi penulis yang baik?”
Pertanyaan ini muncul dari berbagai kalangan baik pelajar, mahasiswa, aktivis kampung, bahkan ibu rumah tangga.
Kadang disusul pertanyaan berikut: “Saya ingin menulis, tapi saya merasa tidak punya bakat. Apa bisa?”
Baca Geliat Literasi Dayak dari Dalam: Tonggak Sejarah Menulis pada 1990-an
Jawaban saya selalu sama: bisa. Menulis itu bukan soal bakat semata. Menulis adalah kebiasaan, keberanian, dan kerajinan. Ia seperti menanam. Tak semua orang harus jadi ahli botani dulu untuk mulai menanam cabai di halaman belakang. Mulailah. Sirami. Rawat. Nikmati. Lalu panen.
Menulis juga begitu!
Menulis Itu Hak Semua Orang
Dulu, kita terbiasa berpikir bahwa menulis hanya milik kaum cendekia, orang-orang berpendidikan tinggi, atau mereka yang hidup di kota besar. Ini anggapan keliru.
Pelatihan WRITING SKILL bagi para leaders di lingkungan CU yang tergabung dalam Puskhat di Kalimantan Barat. Ist. |
Menulis adalah hak setiap orang. Ia seperti berbicara, seperti bernapas. Di kampung saya di pedalaman Kalimantan, saya bertemu banyak orang yang tidak tamat sekolah tapi bisa “menulis” dengan caranya sendiri: menyampaikan pengalaman hidup lewat cerita, syair, atau pantun. Itu pun bentuk tulisan, meski belum tersalin di kertas.
Baca Buku Terbaik Abad 21 versi Pembaca The New York Times: Potret Selera Baca Global
Saat kita bisa menulis, kita bukan hanya sedang menyampaikan pikiran. Kita sedang menciptakan jejak. Anak-cucu kelak bisa mengenal kita lewat tulisan. Apa yang tidak terdokumentasi, pelan-pelan akan dilupakan. Lalu menguap, hilang.
Seperti perubahasa dalam bahasa "malaikat" ini, "Verba volant scripta manen" : yang diucapkan berlalu, tapi yang dituliskan itu, abadi.
Maka, menulis juga adalah perlawanan terhadap lupa.
Apa yang Bisa Ditulis?
Ini pertanyaan lanjutan yang sering saya dengar. “Saya mau menulis, tapi bingung mau tulis apa.” Maka saya balik bertanya, “Apa yang paling sering kamu pikirkan sehari-hari? Apa yang membuatmu marah? Apa yang membuatmu senang? Apa yang kamu sayangkan dari hidup di desa? Apa yang kamu banggakan dari orangtuamu?”
Jangan berpikir terlalu jauh dulu soal menulis novel besar, puisi berat, atau esai akademik. Mulailah dari yang dekat. Ceritakan pengalamamu. Tuliskan apa yang kamu alami hari ini. Kalau kamu seorang petani, tuliskan kegelisahanmu melihat harga gabah anjlok. Kalau kamu anak muda, tuliskan keresahanmu tentang masa depan. Kalau kamu ibu rumah tangga, tuliskan harimu membesarkan anak.
Semua punya nilai. Semua berharga. Semua bisa jadi bahan tulisan.
Menulis Itu Proses, Bukan Keajaiban
Jangan menunggu inspirasi jatuh dari langit. Ia jarang datang begitu saja. Bahkan penulis besar pun bekerja keras duduk berjam-jam untuk bisa menyelesaikan satu halaman. Inspirasi bisa datang, tapi hanya kepada mereka yang sedang bekerja.
Saya sendiri, ketika menulis buku, tidak selalu dalam suasana "mood" yang baik. Tapi saya tetap menulis. Saya tahu, satu halaman yang ditulis dengan biasa-biasa saja hari ini bisa diperbaiki esok hari. Tapi halaman yang tidak ditulis hari ini: tak akan pernah lahir.
Baca Pemetaan Penulis Dayak dan Buku Ber-ISBN Mencapai Lebih dari 2.347 Judul
Maka kuncinya satu: duduk dan menulis. Jangan pedulikan dulu hasilnya. Jangan keburu membandingkan diri dengan penulis besar. Tulislah. Satu paragraf. Dua paragraf. Lama-lama jadi satu halaman. Lalu jadi dua. Lima. Sepuluh. Dan sebelum kamu sadar, kamu sudah menulis sesuatu yang utuh.
Bukan Soal Bahasa Tinggi, Tapi Kejujuran
Banyak orang takut menulis karena merasa bahasanya “biasa saja”. Itu justru bagus. Bahasa yang terlalu tinggi malah sering menghalangi pesan yang mau disampaikan. Menulis yang baik bukan soal memakai kata-kata rumit, tapi menyampaikan dengan jujur dan jelas.
Saya lebih senang membaca tulisan yang polos tapi jujur, dibanding yang indah tapi palsu. Kalau kamu sedih, tulislah kesedihan itu dengan kata-katamu sendiri. Kalau kamu marah, biarkan kemarahanmu bicara lewat kalimat-kalimatmu. Kejujuran punya kekuatan magis. Ia membuat tulisanmu hidup dan menyentuh.
Menulis Itu Merawat Ingatan
Sebagai orang Dayak, saya sadar betul bahwa banyak sejarah kami tidak tercatat. Banyak cerita yang hanya hidup dari mulut ke mulut. Lama-lama, ia memudar. Generasi muda tak lagi tahu siapa leluhurnya, dari mana asalnya, dan bagaimana kebudayaannya tumbuh.
Maka saya menulis. Sejak tulisan perdana di Kompas, 14 Maret 1984, lebih dari 5.000 hanya artikel saya dimuat di berbagai media nasional, lokal, maupun internasional.
Hebat? Tidak! Tak ada yang hebat. Yang ada hanya: habitus, kebiasaan, yang diulang-ulang.
Saya dokumentasikan. Saya ubah pengetahuan lisan menjadi tulisan. Ini bukan sekadar aktivitas pribadi, tapi juga tanggung jawab budaya. Jika kamu adalah bagian dari komunitas yang kaya budaya, mulailah menulis tentangnya. Tentang ritual. Tentang tanaman obat. Tentang kisah para tetua. Jangan tunggu semua itu hilang baru kita menyesal.
Teknologi adalah Sekutu, Bukan Musuh
Sekarang zaman sudah berubah. Dulu, untuk menerbitkan tulisan kita harus menunggu media massa. Sekarang, semua orang bisa jadi penerbit. Ada blog, media sosial, platform menulis daring. Gunakan itu. Kalau kamu belum punya komputer, pakai ponselmu. Banyak aplikasi menulis yang mudah dan gratis.
Kita hidup di zaman di mana suara kita bisa didengar dunia. Tinggal mau atau tidak. Jangan takut dikritik. Menulislah. Kirimkan ke media. Tulis status panjang di Facebook, tapi yang bermakna. Jangan hanya curhat tak jelas. Gunakan media sosial bukan sekadar untuk “scrolling”, tapi untuk sharing.
Latihan, Latihan, Latihan
Seperti naik sepeda, menulis itu soal latihan. Makin sering kamu menulis, makin luwes kamu berpikir. Makin mudah kamu menyusun kata. Kalau kamu merasa tulisanmu jelek, jangan langsung berkecil hati. Lanjutkan. Setiap penulis hebat dulunya juga pemula. Tak ada jalan pintas. Yang ada hanya jalan sabar.
Cobalah menulis setiap hari, meski cuma satu paragraf. Bikin jurnal harian. Catat hal-hal kecil yang terjadi di sekitarmu. Jangan biarkan sehari pun berlalu tanpa menulis. Lama-lama kamu akan terbiasa. Dan dari kebiasaan itu akan lahir ketekunan. Dari ketekunan, lahirlah kualitas.
Menulis untuk Merawat Diri dan Dunia
Menulis bukan hanya soal mengejar ketenaran atau menerbitkan buku. Menulis adalah cara merawat diri. Ia bisa jadi terapi. Ia bisa jadi senjata. Ia bisa jadi warisan.
Saya tidak pernah mengira bahwa langkah kecil menulis di kampung dulu akan membawa saya menulis puluhan buku, menyunting ratusan naskah, dan berkeliling banyak tempat. Semua itu dimulai dari satu hal: berani menulis.
Baca Industri Buku pada Era The New Media
Maka, saya ajak kamu semua, di kota atau di kampung, tua atau muda, berpendidikan tinggi atau tidak, untuk menulis. Sebab setiap orang punya kisah. Setiap kisah punya makna. Dan setiap makna pantas dituliskan.
Jangan tunggu jadi penulis hebat.
Menulislah! Maka kamu akan hebat dengan sendirinya.
Puskhat, Jln. MT Haryono, Pontianak pagi 15 Juli 2025