Buku Terbaik Abad 21 versi Pembaca The New York Times: Potret Selera Baca Global

The New York Times:, buku, The Upshot, tokoh literasi, Institut Teknologi Keling Kumang (ITKK), Borneo, literasi, Amerika, Eropa, Sarah Jessica Parker

Inilah mahakarya abad ke-21 pilihan The New York Times.
Inilah mahakarya abad ke-21 pilihan The New York Times. ISt.
 

Memasuki seperempat abad ke-21, The New York Times merilis daftar 100 Buku Terbaik Abad Ini sebagai cermin batin zaman. Disusun bersama 503 tokoh literasi, daftar ini memuat karya-karya yang mungkin tak menang penghargaan, tapi membekas di hati pembaca.


I. Pendahuluan: 

Literasi dalam Cermin Zaman

Ketika dunia memasuki seperempat abad ke-21, The New York Times Book Review merilis daftar ambisius: 100 Buku Terbaik Abad ke-21. Proyek ini bukan sekadar daftar bacaan populer. Ini adalah peta batin zaman yang dibentuk oleh perang, pandemi, migrasi global, krisis iklim, dan ledakan teknologi.

Baca Books and the Dayak Renaissance

Hal yang menarik adalah bahwa senarai ini tidak hanya disusun oleh redaksi. Sebanyak 503 tokoh literasi, terdiri atas novelis, penulis nonfiksi, penyair, kritikus sastra, editor, hingga aktris seperti Sarah Jessica Parker ikut serta menyusun daftar mereka masing-masing. Proyek ini melibatkan kolaborasi dengan The Upshot, divisi analisis data The New York Times, yang menyusun kembali daftar berdasarkan suara mayoritas responden.

Baca ISBN : Mengapa Suatu Terbitan /Buku Perlu? 

Hasil akhirnya mengejutkan dan menggembirakan. Daftar versi pembaca ini berisi karya-karya yang menyentuh, membekas, dan sering kali berani melawan arus. Tidak semua terbitan pemenang penghargaan besar. Tidak semua bersinar dalam daftar redaksi. Tapi semuanya berhasil menemukan tempat istimewa di hati pembacanya.


II. Metodologi Penelitian dan Survei

Metodologi yang digunakan dalam survei ini cukup sederhana namun efektif: para responden diminta memilih 10 buku terbaik yang mereka anggap paling berpengaruh dan bermakna, dari semua judul yang terbit sejak 1 Januari 2000. Tidak ada pembatasan genre. Fiksi, nonfiksi, memoar, dan bahkan karya terjemahan diperbolehkan.

Seluruh data dikumpulkan dan diproses untuk membentuk daftar 100 besar versi pembaca, yang kemudian dibandingkan dengan daftar 100 besar versi redaksi. Hasilnya menunjukkan persinggungan pada 39 judul, tetapi 61 buku lainnya unik, mencerminkan selera emosional dan kultural para pembaca.

III. Hasil Penelitian: 10 Besar Buku Pilihan Pembaca

Berikut adalah 10 buku teratas pilihan pembaca menurut hasil survei The New York Times:

  1. Demon CopperheadBarbara Kingsolver
    Sebuah reinterpretasi modern dari David Copperfield yang mengangkat kisah bocah lelaki di wilayah Appalachia yang terjebak dalam sistem adopsi dan krisis opioid. Mengaduk-aduk emosi dan membuka luka sosial Amerika modern.

  2. All the Light We Cannot SeeAnthony Doerr
    Novel berlatar Perang Dunia II ini menyandingkan dua dunia: seorang gadis buta di Prancis dan tentara muda Jerman. Puisi naratifnya begitu memikat, hingga memenangkan Pulitzer Prize.

  3. A Gentleman in MoscowAmor Towles
    Cerita fiktif seorang bangsawan Rusia yang dijatuhi tahanan rumah di Hotel Metropol selama Revolusi Bolshevik. Elegan, jenaka, dan menyentuh, buku ini menawarkan meditasinya sendiri atas waktu dan peradaban.

  4. The GoldfinchDonna Tartt
    Pemenang Pulitzer ini menyajikan kisah kehilangan, seni, dan pencarian makna hidup. Narasinya kompleks, emosional, dan menyisakan perenungan panjang.

  5. PachinkoMin Jin Lee
    Epik lintas generasi tentang keluarga Korea yang bermigrasi ke Jepang. Menggambarkan diskriminasi, ketekunan, dan makna harga diri dalam diaspora Asia.

  6. EducatedTara Westover
    Memoar luar biasa tentang perempuan muda yang dibesarkan di keluarga ekstremis religius di Idaho dan berjuang menembus universitas elite dunia. Buku ini menjadi simbol kekuatan pendidikan sebagai pembebasan.

  7. Tomorrow, and Tomorrow, and TomorrowGabrielle Zevin
    Kisah dua sahabat masa kecil yang menciptakan dunia virtual melalui game. Tidak sekadar tentang teknologi, tetapi juga persahabatan, identitas, dan eksistensi.

  8. My Brilliant FriendElena Ferrante
    Buku pertama dari Neapolitan Novels, menggambarkan kompleksitas persahabatan perempuan dalam masyarakat patriarkal Italia pascaperang. Buku ini menempati peringkat 1 dalam daftar versi redaksi.

  9. Never Let Me GoKazuo Ishiguro
    Sebuah novel distopia yang lembut dan filosofis. Tentang manusia, hak hidup, dan cinta yang direnggut dari anak-anak kloning di sebuah sekolah asrama. Tercatat di peringkat 9 versi redaksi.

  10. Station ElevenEmily St. John Mandel
    Mengangkat kehidupan pasca-pandemi dan pentingnya seni di dunia yang telah porak-poranda. Seakan menjadi ramalan sebelum COVID-19 datang.

IV. Diskusi: Mengapa Tidak Ada Buku dari Indonesia?

Membaca daftar ini, pembaca dari Indonesia mungkin bertanya: "Mengapa tidak ada satu pun karya dari Indonesia?"

Baca Dayak yang Tajir dan Literat Hari Ini

Pertanyaan ini sah dan mencerminkan hasrat literasi lokal yang tumbuh. Namun, perlu dicermati bahwa daftar ini memang disusun untuk pembaca The New York Times, dengan dominasi literatur berbahasa Inggris. Tantangan utamanya bukan kualitas karya Indonesia, tetapi minimnya akses, penerjemahan, dan distribusi ke pasar global.

Padahal, geliat literasi di Indonesia tidak pernah sepi. Salah satu contohnya adalah momen monumental yang terjadi di Sekadau, Kalimantan Barat. 

Pada awal 2025, Institut Teknologi Keling Kumang (ITKK) meluncurkan 60 buku ber-ISBN dalam satu momentum, dan mencatatkan diri dalam Rekor MURI. Ini menjadi salah satu pencapaian terbesar dalam gerakan literasi berbasis komunitas adat dan lokal.


V. Makna Sosial dan Kultural

Daftar buku pilihan pembaca ini mengisyaratkan beberapa temuan penting:

  • Memoar dan refleksi sejarah sangat diminati, mencerminkan kebutuhan pembaca akan makna personal dan kolektif.

  • Karya-karya yang menyuarakan ketidakadilan struktural—ras, kelas, gender, dan sistem—mendominasi daftar ini.

  • Literatur global makin terbuka, dengan munculnya karya dari Italia, Korea, Jepang, dan Rusia. Tapi tentu masih bias pada penerbit besar dan bahasa dominan.

  • Sastra sebagai katalis dialog dan identitas tetap hidup. Buku tidak mati, bahkan di era digital.


VI. Kesimpulan dan Rekomendasi

Senarai 10 besar ini bukan hanya daftar buku favorit, tetapi cermin batin zaman. Buku-buku ini adalah pelampung dalam arus informasi yang liar, dan menjadi ruang aman untuk bertanya, meragukan, mencintai, dan berharap.

Indonesia, dengan kekayaan narasi lokalnya, memiliki potensi besar untuk tampil dalam panggung global. Tapi perlu kerja sistematis:

  • Mendorong penerjemahan karya unggulan ke dalam bahasa global

  • Mengintegrasikan penulis lokal dalam jaringan festival internasional

  • Membangun ekosistem penerbitan yang berpihak pada keragaman suara

Seperti disadari redaksi The New York Times, pembaca adalah makhluk penuh gairah. Mereka tidak akan pernah diam ketika karya yang mereka cintai diabaikan. Dan justru karena itu, literasi akan selalu hidup. Bukan saja di Amerika, di Eropa, maupun di pedalaman Borneo.


Referensi

  • The New York Times Book Review. (2024). The 100 Best Books of the 21st Century.

  • The Upshot. (2024). Survey Methodology: 503 Literary Figures on the Best Books Since 2000.

  • SenentangNews.com. (2025). Peresmian Gedung Rektorat ITKK Sekadau: Masuk Rekor MURI.

  • Wikipedia. (2025). The New York Times' 100 Best Books of the 21st Century.


Disusun oleh Tim Litbang Literasi Dayak
Editor: Masri Sareb Putra

LihatTutupKomentar