Dayak yang Tajir dan Literat Hari Ini
Dayak yang tajir danliterat hari ini by Grog. |
Menurut Lontaan (1975), suku bangsa Dayak terdiri atas tujuh rumpun besar (stammenras) dan terbagi lagi menjadi tidak kurang dari 405 subsuku.
Suatu bilangan yang mencerminkan betapa majemuknya masyarakat Dayak dalam hal bahasa, adat istiadat, dan sistem kepercayaan. Namun, di balik keragaman itu, terdapat denyut yang sama, yakni semangat bertahan hidup, menjaga tanah, dan kini, bangkit menjadi aktor utama dalam dunia modern.
Baca Sastrawan Dayak, Siapa saja Mereka dan Karyanya?
Hari ini, orang Dayak tidak hanya dikenal sebagai penjaga hutan dan pewaris tradisi, tetapi juga sebagai kaum yang tajir, literat, dan berdaya saing tinggi dalam berbagai lini kehidupan.
Dari Hutan ke Panggung Global, Transformasi Sosial Dayak
Jika dahulu masyarakat Dayak lebih dikenal melalui narasi luar, eksotis, marginal, atau sebagai “penjaga hutan belantara”, kini kita menyaksikan sebuah transformasi diam-diam tapi radikal.
Orang Dayak hari ini bukan hanya pelestari warisan leluhur, tetapi juga pelaku aktif dalam dunia modern yang kompetitif. Mereka adalah pengusaha, dosen, peneliti, pemilik usaha berbasis digital, hingga pemegang gelar doktor dan profesor.
Data dari Dayak Research Center (DRC) menunjukkan bahwa jumlah orang Dayak yang menempuh pendidikan tinggi meningkat tajam sejak reformasi.
Pada tahun 2000-an, hanya segelintir Dayak yang meraih gelar doktor. Kini, mereka tersebar di berbagai universitas, baik di dalam maupun luar negeri, dari Universitas Tanjungpura, Leiden, Institut Teknologi Keling Kumang, hingga perguruan tinggi teologi dan kedokteran di Filipina dan Australia.
Baca Industri Buku pada Era The New Media
Perubahan ini tak lepas dari gerakan internal Dayak yang berlandaskan pada kebangkitan identitas, pendidikan, dan ekonomi berbasis komunitas. Lembaga seperti CU Keling Kumang, ID, ICDN, dan LLD menjadi jembatan antara nilai lokal dan alat modern.
Sejumlah "intelektual kampung" kini duduk sejajar dengan para profesor, bahkan saling memberi ruang dalam forum akademik dan hari studi seperti yang berlangsung di Sekadau (2025), bertajuk Bertemunya Intelektual Kampus dan Intelektual Kampung.
Dari Belantara ke Bisnis, Munculnya Dayak Kaya Baru
Tajir bukan lagi monopoli luar. Di banyak tempat di pedalaman Borneo, kita bisa temui pengusaha Dayak yang membangun bisnis dari nol dan kini memiliki aset miliaran rupiah. Namun, yang menarik, kekayaan ini tidak datang dari eksploitasi destruktif, melainkan dari pendekatan sosial-ekologis yang khas.
Misalnya, jaringan Credit Union (CU) berbasis Dayak telah menjadi instrumen revolusioner dalam menciptakan kelas menengah baru. CU Keling Kumang, yang berpusat di Tapang Sambas, kini melayani ratusan ribu anggota dan memiliki aset triliunan rupiah. Gerakan ini mendorong literasi keuangan berbasis budaya lokal, memutus ketergantungan pada rentenir dan membuka akses modal secara kolektif.
Baca Tidak Semua yang di Internet itu: Benar
Di sektor lain, seperti eco-tourism dan tenun ikat, orang Dayak menjadi pemain utama. Situs seperti borneotravel.com mempromosikan produk budaya Dayak tidak hanya sebagai atraksi pariwisata, tetapi juga sebagai bentuk cultural capitalism, di mana kekayaan budaya menjadi sumber ekonomi yang sah dan lestari.
Selain itu, gerakan ekonomi berbasis tanah ulayat juga berkembang. Alih-alih menjual atau menggadaikan tanah, komunitas Dayak modern mendorong regenerasi tembawang, membentuk koperasi adat, dan menjadikan tanah sebagai sumber produksi lestari.
Di sinilah lahir semangat baru, jadi tuan di tanah sendiri, bukan hanya secara simbolik, tapi juga finansial.
Menjebol Sekat Stigma, Dayak Literat dan Berdaya Saing
Stigma lama yang melekat pada orang Dayak sebagai “terbelakang” atau “tidak modern” kini tinggal narasi usang. Orang Dayak hari ini berbicara di forum nasional dan internasional, menulis buku, menyusun kurikulum adat, dan terlibat dalam riset-riset besar, termasuk dalam topik sensitif seperti deforestasi, sawit, dan hak tanah.
Istilah "literat" dalam konteks dunia kontemporer tidak lagi sekadar berarti bisa membaca dan menulis. Menurut kerangka berpikir Forum Ekonomi Dunia di Davos, seseorang disebut literat bila mampu memahami, menafsirkan, dan menggunakan berbagai jenis informasi secara kritis dan kreatif dalam konteks sosial dan digital yang kompleks.
Literasi mencakup kemampuan berpikir reflektif, berkomunikasi lintas budaya, beradaptasi terhadap perubahan teknologi, serta mampu membangun jejaring dan inovasi. Maka, Dayak yang literat bukan hanya lulusan universitas, tetapi juga mereka yang mampu mengolah dan menyebarkan kearifan lokal menjadi pengetahuan publik yang relevan.
Baca Endorsement untuk Sebuah Buku
Salah satu momen penting dalam transformasi intelektual Dayak adalah Hari Studi Dayak yang diselenggarakan oleh Institut Teknologi Keling Kumang (ITKK) di Sekadau, pada 4–5 Agustus 2024, dengan tema "Bertemunya Intelektual Kampus dan Kampung".
Dalam forum ini, para peneliti dan dosen Dayak berdiskusi langsung dengan intelektual kampung, mengangkat pengetahuan tradisional seperti tanaman obat, adat istiadat, dan seni tenun menjadi materi studi, riset, dan publikasi. Forum ini menjadi contoh nyata bahwa jalur ilmu tidak hanya turun dari menara gading, tapi juga tumbuh dari akar masyarakat.
Tak sedikit sarjana dan doktor Dayak yang kini menjadi pengambil kebijakan, kepala daerah, atau tokoh sipil yang disegani. Mereka membawa gaya kepemimpinan berakar pada belarasa dan prinsip rukun adat, bukan sekadar logika politik kekuasaan.
Beberapa dosen Dayak kini mengajarkan mata kuliah seperti “Teologi Kontekstual Dayak”, “Ekonomi Komunitas Adat”, dan “Multikulturalisme Berbasis Etnisitas”.
Baca Carl Bock Menyebut Dayak Pemburu Kepala, Tapi Tak Pernah Tahu Isi Kepala Kami
Inisiatif seperti Hari Studi Dayak dan gerakan dokumentasi tacit knowledge menjadi bagian dari strategi peradaban, mentransformasikan kearifan lokal menjadi pengetahuan eksplisit. Dalam forum seperti ini, kita melihat orang Dayak yang fasih berdiskusi epistemologi Barat, tapi juga fasih menarikan gerak sape’ dan membacakan mantra pengobatan tradisional.
Ini bukan hanya cerita tentang keberhasilan orang perorang tanpa kerja sama, tapi tentang keberhasilan kolektif yang terstruktur dan terencana. Dayak hari ini bukan sekadar survive, mereka thrive, berakar kuat, tapi menjulang tinggi.
Dayak yang tajir dan literat hari ini adalah bukti bahwa modernitas dan tradisi tidak harus bertentangan. Mereka membuktikan bahwa menjadi maju tidak harus tercerabut dari akar.
Di tengah arus globalisasi, justru akar itulah yang menjadi jangkar, dan dalam jangkar itu, Dayak melangkah penuh harga diri, sebagai penjaga bumi, pewaris peradaban, dan warga dunia.
-- Masri Sareb Putra