Carl Bock Menyebut Dayak Pemburu Kepala, Tapi Tak Pernah Tahu Isi Kepala Kami
Carl Bock (hanya) mencatat, tak bertanya, apalagi mengalami Dayak. Ist. |
Oleh: Masri Sareb Putra, M.A.
"Nuan enda nemu, laban nuan enda nanya." Kau tak akan tahu, karena kau tak pernah bertanya. Ungkapan dalam bahasa Dayak Iban ini, pas untuk Carl Bock tketika menulis (tentang) Dayak.
Apa yang ditulis Carl Bock pada 1881 The Headhunters of Borneo bukan hanya laporan perjalanan. Ia adalah sepasang mata Eropa yang memandang hutan dengan rasa takut, bukan rasa hormat. Ia adalah pena yang menulis tanpa mendengar, mencatat tanpa menyentuh, dan menilai tanpa mengerti.
Dalam sejarah yang panjang dan runcing itu, Dayak hanya menjadi latar; bukan pelaku, bukan penyair, bukan penulis kisah mereka sendiri.
Saya membayangkan Bock berjalan di tepian sungai, dengan sepatu kulit yang kaku, membawa buku catatan berbau tinta, dan sesekali mencibir pada apa yang tak ia pahami. Tubuh-tubuh Dayak ia lihat, tapi pikirannya tertutup.
Yang tampak di depan matanya adalah tato, tengkorak, rumah panjang, dan nyala api upacara. Tapi yang tak ia lihat—dan tak ia tulis—adalah alasan dari semuanya. Adat, pantang, belian, dan filsafat yang mengalir seperti arus Kapuas: diam-diam, tapi dalam.
Di sinilah kolonialisme memperlihatkan bentuknya yang paling halus: bukan hanya menguasai tanah, tetapi juga mengklaim makna. Bock datang tidak membawa pendengaran. Ia datang membawa praduga. Bahwa Dayak “liar,” bahwa pengayauan adalah kebrutalan, bahwa tato adalah vandalisme tubuh. Padahal, dalam kosmologi Dayak, semua itu adalah bahasa, simbol tentang hubungan antara manusia, alam, dan dunia roh. Tapi bagi Bock, mereka hanyalah fragmen eksotika yang patut dipamerkan di rak toko buku Oxford.
Di ruang-ruang akademik Barat, buku Bock dicetak ulang. Tahun 1985, Oxford University Press masih merasa bahwa dunia harus membaca kisah Dayak dari kacamata seorang asing yang pernah nyasar di hutan. Ironisnya, bahkan hingga kini, nama Bock masih dikutip di jurnal ilmiah dan silabus universitas, sementara suara Dayak sendiri tetap sunyi.
Saya teringat ungkapan dalam tradisi Dayak Iban: "nuan enda nemu, laban nuan enda nanya." Kau tak akan tahu, karena kau tak pernah bertanya.
Carl Bock tak bertanya.
Yang ia lakukan adalah mencatat. Tapi catatan, seperti juga luka, tak selalu netral. Ia bisa menyesatkan. Ia bisa membekukan sebuah bangsa dalam satu imej: bahwa mereka pemburu kepala, bahwa rumah panjang adalah museum hidup, bahwa kebudayaan Dayak adalah peninggalan, bukan kehidupan.
Saya kira, Bock-lah yang sebetulnya ketakutan. Tubuh asingnya, janggutnya, senyumnya yang sopan tapi penuh prasangka, membuatnya tampak seperti makhluk aneh bagi penduduk lokal. Bahkan konon, orang Dayak menatapnya dalam diam dan berbisik, “Kalau kita bertemu dia malam-malam di hutan, siapa yang lebih takut—kita, atau dia?”
Barangkali, ini bukan pertanyaan bercanda. Ini adalah cermin. Karena justru Bock-lah yang melihat Dayak dengan mata ketakutan. Dan karena takut, ia memilih menulis tanpa hati.
Hari ini, generasi baru Dayak telah bangkit. Mereka menulis sendiri. Mereka tak butuh Carl Bock baru. Mereka tak perlu diselamatkan oleh narasi luar. Karena mereka telah memiliki apa yang dulu dicuri dari mereka: suara.
Suara itu lahir dari tanah, dari sungai, dari langit, dari kenangan yang diwariskan dengan bisik, bukan dengan buku. Mereka menulis bukan untuk menakut-nakuti pembaca asing dengan tengkorak, tapi untuk menyatakan bahwa tengkorak itu adalah lambang relasi. Bukan kekerasan, tapi penghormatan. Bukan perang, tapi keseimbangan.
Kini saatnya kita menulis dengan kepala sendiri. Bukan karena kita ingin tampil di rak-rak dunia, tapi karena kita ingin mengisi perpustakaan kita sendiri, dengan aksara yang ditulis dari tubuh dan jiwa kita. Kita menulis bukan karena kita eksotik, tapi karena kita hidup.
Biarlah buku Carl Bock tetap di sana, di rak tua, menguning. Tapi jangan lagi ia jadi satu-satunya kisah tentang Dayak.
Karena Dayak bukan objek. Dayak adalah subjek. Bukan kepala yang digantung, tapi pikiran yang menggantungkan harapan pada masa depan.
Dan masa depan itu, hari ini, sedang ditulis. Dari dalam. Dengan hati.
Catatan:
Tulisan ini dibuat dengan semangat literasi dekolonial dan cinta pada keberanian para penulis Dayak masa kini yang menulis bukan dari pinggiran, melainkan dari pusat kehidupannya sendiri.