Tidak Semua yang di Internet itu: Benar
Berburu mendapatkan sumber primer, buku tepercaya di Perpustakaan Nasional. Sebab tidak semua yang di internet itu: benar. Dokpri. |
Saya pun memanfaatkan internet. Saya mencari data, membaca artikel, membuka jurnal. Tapi saya belajar untuk selalu curiga. Di dunia di mana suara orang bisa disalin oleh AI, dan wajah bisa dipalsukan dengan mudah, keraguan adalah bentuk cinta paling jujur kepada kebenaran.
Saya tengah duduk di pojok lantai atas Perpustakaan Nasional, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta. Aroma kertas tua dan AC yang disetel terlalu dingin membuat saya teringat akan sesuatu yang pelan-pelan hilang: keheningan yang memungkinkan pikiran berjalan kaki, bukan berlari.
Tiba-tiba, seorang mahasiswa menghampiri. “Bapak bisa bantu isi kuesioner tugas akhir saya?” Ia tersenyum, gugup. Saya mengangguk, sedikit malas. Tapi saya tahu, dalam hidup, kadang kita membantu bukan karena ingin, tapi karena tahu rasanya tak dibantu.
Pertanyaannya sederhana: Mengapa Anda masih ke perpustakaan?
Saya tersenyum. Pertanyaan itu, bagi saya, seperti bertanya mengapa kita masih menulis dengan tangan, ketika semua bisa diketik. Atau mengapa kita masih berdoa dalam sunyi, padahal ada aplikasi meditasi.
Saya menulis jawabannya dengan pulpen yang hampir habis tinta: “Karena tidak semua yang di internet itu benar.”
Pernyataan itu barangkali terlalu sederhana. Tapi sesungguhnya, justru karena terlalu banyak yang kompleks di dunia ini, kita harus berani menyederhanakan.
Di internet, segalanya bercampur: kebenaran, kebohongan, kesimpulan setengah matang, dan kutipan tanpa sumber. Ia seperti pasar malam: gemerlap, ramai, murah, dan penuh tipu-tipu. Di sana, “Napoleon kalah di Waterloo” bisa terdengar sama sahihnya dengan “Bumi itu datar.” Algoritma tidak peduli. Ia tak memilih berdasarkan kebenaran, tapi keterpautan. Apa yang membuatmu klik, itulah yang dimajukan.
Saya pernah membaca satu artikel sejarah di sebuah blog yang cukup terkenal. Tulisannya meyakinkan, gaya bahasanya rapi, bahkan menyertakan referensi. Tapi ketika saya telusuri lebih dalam, kutipan referensinya mengarah ke… ya, ke blog lain. Dan blog itu mengutip blog lainnya. Seperti mengejar bayangan di sore hari, sampai senja jatuh, dan kita sadar: kita tak menemukan apa-apa.
Di perpustakaan, buku tak bisa bohong secepat itu. Ia harus melewati editor, penerbit, bahkan mungkin pemikiran yang matang selama bertahun-tahun. Kebenaran di sana memang belum tentu mutlak. Tapi setidaknya, ia sudah digodok dengan perlahan. Dibantah, diuji, disangkal. Dan itu semua tercatat.
Saya masih ingat tulisan lama saya tentang "tanda baca". Seorang pembaca muda, entah dari mana, membantahnya lewat email: katanya saya keliru soal sejarah titik koma. Ia mengutip Wikipedia. Saya tertawa, bukan meremehkan, tapi karena saya pernah jadi seperti dia. Percaya pada halaman pertama Google, tanpa bertanya: siapa yang menulis ini?
Internet memberi kecepatan, tapi kadang menghilangkan keraguan. Kita terlalu cepat percaya. Bahkan, terlalu cepat marah hanya karena satu potongan kalimat yang dipotong dari konteks.
Itulah mengapa, membaca buku itu seperti menatap wajah orang lama. Kita tidak bisa buru-buru percaya. Kita harus mengenalnya perlahan. Mungkin ia membosankan, mungkin ia berputar-putar. Tapi justru karena itu, ia mengajarkan: kebenaran tak bisa diburu dengan tergesa.
Saya mafhum. Banyak yang mengatakan bahwa kunjungan ke perpustakaan kini menjadi romantisme masa lalu. Saya tidak menyangkalnya.
Saya pun memakai internet. Saya mencari data, membaca artikel, membuka jurnal. Tapi saya belajar untuk selalu curiga. Di dunia di mana suara orang bisa disalin oleh AI, dan wajah bisa dipalsukan dengan mudah, keraguan adalah bentuk cinta paling jujur kepada kebenaran.
Di perpustakaan, saya tak hanya membaca buku. Saya membaca niat pengarangnya. Saya belajar dari catatan kaki. Dari indeks. Dari tahun terbit yang memberi konteks.
Di internet, saya sering tersesat. Di perpustakaan, saya bisa memilih untuk tidak tersesat. Dan keduanya, sesekali, memang penting: agar kita tahu jalan pulang bukan satu-satunya cara untuk kembali.
Pernah saya menulis buku Kiat Menghindar Plagiat (PT Indeks, 2011, ISBN 979-062-296-1.) “Plagiat bukan hanya mencuri kalimat. Tapi juga mencuri waktu dan pikiran orang lain.”
Dan internet adalah ladang subur bagi pencurian itu, jika kita tidak berhati-hati. Di sinilah saya tahu, membaca buku asli bukan hanya urusan teknis. Ia adalah tindakan etis.
Membaca buku adalah bentuk penghormatan terhadap proses. Bahwa sebuah ide tidak lahir dari ruang kosong. Bahwa kata-kata tidak jatuh dari langit. Buku-buku proses trbitnya ditempa, dilukai, dikoreksi, dan kadang dibakar dalam perdebatan yang panjang.
Ketika saya selesai mengisi kuesioner itu, mahasiswa tadi berterima kasih. Ia tampak sedikit heran membaca jawaban saya. Mungkin ia berharap jawaban yang lebih modern. Lebih optimistik tentang teknologi. Tapi saya hanya mengatakan, “Tulis saja seperti ini: Tidak semua yang di internet itu benar. Dan karena itu, saya datang ke sini.”
Ia mengangguk. Barangkali ia tidak akan memakai jawaban saya. Tapi saya berharap, suatu hari nanti, ketika ia merasa dunia terlalu cepat dan informasi terlalu banyak, ia akan ingat sudut perpustakaan itu. Dan memilih duduk. Dan membuka buku. Dan membiarkan pikirannya berjalan kaki.
Karena kadang, untuk sampai ke kebenaran, kita memang harus lambat.
-- Masri Sareb Putra