Perang dan Dunia yang Terbalik

Dayak, ngayau, perang, Iran, Irak, Borneo, headhunter, pagan, Amerika, Iran, Israel, Rusia, Cina, Goenawan Mohammad

Perang dan  Dunia yang Terbalik
Perang dan kolaborasi: siapa yang primitof? by Grok.

Saya teringat kalimat dari zaman lain. Diucapkan di benua yang saat ini justru sedang perang: In the primitive age, man fought; in the digital age, we collaborate. 

Kini siapakah yang primitif? Bukan Dayak! Dayak sukubangsa beriman, mengutamakan kemansiaan, dan takut akan Tuhan. Suku yang seabad lalu dicap headhunter namun kini seluruhnya percaya Tuhan dan mencintai sesama, tanpa pandang muka.

Baca Literasi Dayak : Dayak Perlu Menulis "Dari dalam"

Dunia bisa terbalik, kata seorang tua di kampung yang jauh dari ibukota. Tapi siapa sangka, dunia memang telah jungkir, diam-diam, nyaris tanpa kita sadari. 

Di abad ke-18, para pengelana dari Barat datang ke Nusantara dengan salib di satu tangan dan penghakiman di tangan lain. Mereka menyebut kita pagan; seolah langit tropis yang menaungi hidup kami terlalu gelap untuk menumbuhkan iman. Mereka datang dengan kata “peradaban” di ujung lidah, tapi membawa senapan di bahu.

Namun kini, siapa sebenarnya yang tersesat? Siapa yang sebenarnya “pagan”?

Baca Carl Bock Menyebut Dayak Pemburu Kepala, Tapi Tak Pernah Tahu Isi Kepala Kami

Di kota-kota yang terang oleh cahaya neon tapi gelap oleh kesepian, di mana doa hanya jadi formalitas di bibir tanpa makna di hati, nilai digadaikan untuk keuntungan. 

Di negeri-negeri dengan gedung pencakar langit, manusia kehilangan tanah tempat berpijak dan juga arah pulang. Di situ, spiritualitas hanya jadi produk gaya hidup. Dan kapitalisme, dengan segala mantranya, menggantikan altar.

Sementara di pedalaman Borneo, Dayak yang dulu dituding “headhunter” justru lebih religius dalam cara mereka memandang hutan dan sungai. Mereka berdoa dengan langkah kaki di tanah, dengan kesadaran bahwa setiap pohon punya roh, setiap sungai punya jiwa. Di mana hutan bukan komoditas, tapi saudara tua. Di situlah teologi hadir tanpa gereja, iman hidup tanpa dogma.

Dunia memang telah terbalik.

Perang hari ini tak lagi butuh tombak dan kapak. Ia datang dari langit, tak bersuara, tak berwajah. Drone. Rudal. Layar radar. Tangan pembunuh berjubah digital. Modernitas telah menyempurnakan kekerasan, membuatnya steril dan jauh dari rasa bersalah. Maka, siapa sebenarnya ngayau hari ini?

Saya teringat kalimat dari zaman lain, diucapkan di benua lain: In the primitive age, man fought; in the digital age, we collaborate. 

Kini siapakah yang primitif? Bukan Dayak! Dayak sukubangsa beriman, mengutamakan kemansiaan, dan takut akan Tuhan. Suku yang seabad lalu dicap headhunter namun kini seluruhnya percaya Tuhan dan mencintai sesama, tanpa pandang muka.

Tapi bukankah kolaborasi yang sering kita rayakan hari ini hanya permufakatan kapital? Di balik emoji senyum dan video konferensi, bom tetap meledak. Gaza. Ukraina. Sudan. Dan Timur Tengah seperti takdir yang tak pernah selesai ditulis.

Baca Literasi Perang bagi Suku Dayak: Mewarisi Kesombongan dan Keserakahan, Menolak Kekerasan

Lalu datanglah bara lain: Israel dan Iran. Bukan perang terbuka, tapi juga bukan damai. Dunia memegang napas, menunggu satu miskalkulasi kecil yang bisa jadi longsoran besar. Satu peluru nyasar, satu presiden yang salah bicara, satu jet tempur meleset. Dan sejarah bisa berganti halaman dengan tinta darah. Mereka bilang, Perang Dunia III tak mungkin, belum saatnya. Tapi apa yang lebih rapuh dari “belum”?

Dunia hari ini seperti cangkir porselen di tangan anak-anak yang bermain perang-perangan. Amerika, Iran, Israel, Rusia, Cina; semuanya menari di atas kawat tipis. Diplomasi seperti doa: diucapkan karena harus, bukan karena sungguh percaya. Lembaga-lembaga internasional seperti jam tua masih berdetak, tapi tak lagi menunjukkan waktu yang tepat.

Saya teringat Goenawan Mohammad. Penyair, sastrawan dan pemikir itu pernah menulis: waktu seperti cermin retak. Ia tak mencerminkan masa lalu atau masa depan, tapi pecah dalam pantulan yang tak bisa disatukan. Mungkin, seperti kata GM, dunia tak benar-benar maju atau mundur; dunia hanya berputar dalam bentuk lain dari kebodohan yang sama.

Dulu Barat menuduh kita biadab karena tak menyembah seperti mereka. Hari ini, mereka menyembah pasar, dan membiarkan manusia dihancurkan olehnya. Di ruang-ruang berpendingin udara, mereka rapat untuk merancang strategi perdamaian, tapi keputusan dibuat dari rasa takut, bukan dari cinta. Mereka bicara tentang kemanusiaan, tapi melupakan manusia.

Dan di sinilah kita, berdiri di ambang sesuatu yang belum tentu. Dunia ini mungkin perlu terbalik, supaya kita bisa melihat: bahwa yang dulu dianggap primitif ternyata lebih arif. Bahwa yang dulu diburu, justru lebih tahu cara merawat hidup.

Baca Tidak Semua yang di Internet itu: Benar

Dayak tahu, dunia ini bukan milik manusia saja. Mereka tak butuh satelit untuk tahu arah, cukup mendengar suara burung dan arus sungai. Mereka tak perlu perjanjian internasional untuk menjaga alam, cukup dengan ikrar leluhur.

Mungkin, dunia yang terbalik adalah dunia yang sebenarnya.

Ketika semuanya kacau, kita akhirnya belajar membedakan: antara terang dan gemerlap. Antara iman dan rutinitas. Antara damai dan diam.

Dan mungkin, dalam keterbalikan itu, kita akan tahu siapa sebenarnya yang “pagan”. 

Dan siapa yang, diam-diam, menjaga dunia ini tetap waras.

Jakarta, 23 Juni 2025

LihatTutupKomentar