Budi Miank: Proses Kreatif Saya "Melahirkan" Buku

Budi Miank, sastrawan Dayak, wikipedia, Andreas Harsono, Alex Mering, Nano Basuki, Masri Sareb Putra, puisi Ombon

  • Budi Miank

Siapa ibunya? Siapa bidannya? Kok buku bisa lahir dari saya?

Burung pun tahu. Bahwa itu metafora semata. "Lahir" bukan sebatas fisik belaka. Ini dangkal!

Seperti puisi ini lahir. Ia sebuah proses panjang. Tak mungkin dikisahkan semua dalam laman media ini. 

Puisi karya personal ini menghadirkan pengalaman subjektif yang diangkat menjadi pengalaman bersama. Banyak naskah puisi yang telah saya tulis, namun lebih banyak yang ditolak oleh penerbit. 

Saya termasuk salah satu dari sedikit penulis yang memiliki keberanian untuk terus mencoba. 

Setelah menjadi penulis lepas selama beberapa waktu. Akhirnya, saya berhasil memiliki buku yang saya tulis sendiri. Meskipun kata-kata dalam sajak-sajak ini mungkin tidak memiliki kualitas puitis yang tinggi, buku ini telah memberikan semangat untuk melahirkan karya-karya selanjutnya. 

Saya baru benar-benar bertemu Masri Sareb Putra setelah buku ini selesai dicetak. Dan kami banyak berdiskusi tentang self-publishing.

Proses pembuatan buku ini adalah sebuah perjalanan panjang, mirip dengan riwayat panjang perempuan yang dihormati di sampul buku ini. Perempuan itu adalah ibu saya, yang sejak Mei 2011 telah beralih ke dimensi lain dari kehidupan ini. Ini adalah catatan perjalanan pengembaraannya, yang telah dimulai sejak masa muda dan akhirnya dihentikan oleh pemilik hidup.

Saya merasa sangat bahagia karena buku ini mendapatkan dukungan dari beberapa tokoh hebat. Salah satunya adalah Masri Sareb Putra, seorang penulis yang telah menulis 136 buku buku ber-ISBN. Meskipun kami belum pernah bertemu secara langsung, dia terus mendorong saya untuk menulis buku. 

Dia mengatakan, "Ayo, kamu masih muda. Tulislah buku. Kapan lagi? Segera mulai." 

Kami hanya berkomunikasi melalui fasilitas chat di Facebook. Dan inilah salah satu contoh bagaimana media sosial dapat membantu saya mewujudkan impian menulis buku.

Saya baru benar-benar bertemu Masri Sareb Putra setelah buku ini selesai dicetak, dan kami banyak berdiskusi tentang self-publishing.

Selain itu, ada juga Nano Basuki, seorang guru dan sastrawan, yang mendorong saya untuk menerbitkan puisi-puisi yang telah saya tulis. Saya dengan sengaja meminta dia memberikan dukungan. Saya sangat beruntung karena dia bersedia meluangkan waktu untuk membaca beberapa puisi yang saya kirimkan padanya. 


Ombon adalah endorsemen terakhir dari Korrie Layun Rampan. Menjadi tonggak pancang terakhir Korrie, sebelum sastrawan yang meroket dengan regional-novel Upacara itu kembali ke "rumah sastra untuk selamanya.

Maka Ombon jadi sangat bernilai. 
Masri menemui dan memintanya di Jakarta, justru ketika Korrie asih sadar. Pada waktu itu, "kardinal sastra Indonesia" baru saja dirawat inap di sebuah rumah sakit, di Cempaka Putih, Jakarta.

Saya tahu bahwa ini memakan banyak waktu dan usaha. Namun, saya sangat bersyukur atas kesediaannya. Yang paling menggembirkan adalah saat kritikus sastra dan sastrawan senior memberikan dukungannya pada buku ini. 

Salah satunya adalah Korrie Layun Rampan, seorang nama besar dalam dunia sastra Indonesia. Proses pengambilan endorsement ini juga dibantu oleh Masri, dan saya sangat gembira mendapat dukungan dari seorang sastrawan sebesar Korrie Layun Rampan. Saya hanya merasa sedih bahwa dia meninggalkan kita sebelum buku ini selesai diterbitkan.

Saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada editor buku ini, Alex Mering, yang dengan penuh kesabaran menyelesaikan proses editingnya. Alex Mering adalah seorang sastrawan yang dikenal dengan nama Wisnu Pamungkas. 

Di tengah kesibukannya, saya memaksa dia untuk membaca lebih dari lima puluh puisi dan melakukan editing secara teliti, kata per kata, huruf per huruf, dan diksi per diksi. 

Dia juga memberikan catatan yang membantu untuk memahami lebih dalam pesan yang terkandung dalam buku ini. Hasilnya adalah tulisan yang berjudul "Mendirikan Pedagi Lewat Puisi." 

Bagi seorang yang terbiasa dengan jurnalisme sastrawi yang menuntut objektivitas, menulis secara subyektif tidaklah mudah. Dia mengatakan, "Ternyata tak mudah ya menulis subyektif."

Selain itu, saya juga merasa beruntung memiliki seorang teman bernama Budi Kurniawan, yang akrab kami panggil Budi Kecik. Saya tidak tahu asal-usul panggilan tersebut, mungkin untuk membedakan karena terlalu banyak orang bernama Budi di kantor. 

Budi-lah yang merancang sampul buku ini. Kami harus melakukan beberapa kali revisi agar sampulnya menarik dan bisa mencerminkan pesan dalam buku. Dengan imajinasinya, ia berhasil menghadirkan pengalaman pengembaraan yang saya ceritakan dalam kata-kata ke dalam bentuk sampul buku. 

Andreas Harsono, seorang kenalan saya dari kelas jurnalisme sastrawi, berkomentar di Facebook saya, "Ikut senang lihat covernya! Warna dan komposisinya bagus."

Untuk memberikan buku ini sentuhan khusus, saya juga menambahkan gambar-gambar yang dibuat oleh anak saya, Vanessa, ketika dia masih berusia tiga tahun dan baru pertama kali masuk taman bermain. Meskipun coretan-coretan itu terlihat acak, saya memutuskan untuk tidak membuangnya. 

Ketika Vanessa sudah duduk di kelas satu sekolah dasar, saya memindai coretan-coretan tersebut di kantor dan mengubahnya menjadi format digital. Ketika buku ini akan diterbitkan, saya teringat akan coretan-coretan tersebut dan memasukkannya ke dalam buku untuk menghiasi halaman-halaman kosong. 

Coretan-coretan tersebut memberikan sentuhan unik karena dibuat oleh anak kecil. Saat buku ini diterbitkan, Vanessa sudah berada di kelas lima sekolah dasar.

Akhirnya, buku ini berhasil diselesaikan dan diterbitkan oleh Lembaga Literasi Dayak (LLD).*)

LihatTutupKomentar