Labeling "Dajak" di Masa Lalu

Dayak zaman now: Kirbat (atribut, gaya,  model) lama, bungkus baru.

Jika jika berbelanja ke supermarket, tertera label. Bisa harga tertentu suatu barang. Atau penanda, atau cap yang melekat pada benda. Antara tulisan di label dan benda itu tidak terpisah. Menjadi satu kesatuan.

Jadi, Label adalah cap.Merek. Atau narasi yang dibangun untuk mengingat atau menandai suatu barang tertentu. Membedakannya dengan entitas yag lain.

Demikianlah Dayak di masa lalu. Dilabeli pelancong, penulis, dan antropolog asing dengan cap tertentu. Dari sekian banyak cap, memang tidak semuanya buruk. Ada juga yang lumayan bagus, seperti digambarkan antara lain oleh Jenkins (1978) bahwa ..."Dayak adalah manusia rimba berhati mulia". 

Dayak adalah terminologi peyoratif di masa lalu. Kini, di era modern, selamat tinggal segala hal yang merendahkan, memarginalkan, serta upaya menjadikan etnis penghuni asli bumi Borneo itu penonton geliat berbagai aktivitas kehidupan di daerahnya.

Juga selamat tinggal Dayak sebagai objek kajian dan komodifikasi budaya oleh antropolog dan penulis asing. Kini Dayak harus ditulis oleh orang Dayak, sehingga sudut pandang menjadi lain. Sejarah Dayak harus ditulis orang Dayak sendiri. Juga nasib Dayak harus ditentukan Dayak sendiri.

Dayak, dalam hitungan belasan tahun semenjak Reformasi, 1998, telah bermetamorfosis sebagai sebuah etnis yang berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan etnis lainnya.

Ditilik dari berbagai macam sudut, memang Dayak luar biasa berkembang. Ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, kesehatan, dan politik sungguh membuat decak kagum: banyak orang Dayak tampil pada aras puncak. Bahkan, tidak sedikit orang Dayak menjadi “raja” di negerinya. Mereka sudah tidak ingin lagi raja dari luar memerintah dan menguasai daerahnya karena di antara mereka memang ada yang mampu dan cakap dalam banyak hal,  termasuk pemerintahan.

Mengamati fenomena keberkembangan Dayak dari waktu ke waktu, sungguh sangat memikat. Jika boleh digambarkan, perkembangannya berlangsung cepat dan demikian massif secara deret ukur. Sebuah transformasi yang menakjubkan. Meski demikian, etnis yang populasinya di Kalimantan ditengarai sekitar 7 juta itu tetap guyub, dan dalam berbagai hal tetaplah tidak kehilangan identitas dan bela rasa sebagai sebuah entitas etnis berasal dan berpulau sama.

Kita mengalami, betapa rasa kebersamaan dan hidup sebagai saudara tumbuh demikian alami. Gotong royong masihlah hidup di antara orang Dayak, meski di kota metropolitan sesama tetangga orang tidak saling kenal, apalagi saling tolong. Niat dan upaya melindungi dan melestarikan alam, sebagai panggilan manusia yang menyatu dengan semesta, tetap ada; meski ada upaya investor menyulap belantara Borneo menjadi hutan tanaman industri.

Back to nature tampak dari kearifan orang Dayak dalam berladang dan bercocok tanam. Mengambil dan memanfaatkan hasil alam secukupnya saja, masih ada, terutama di desa-desa. Akan tetapi, di beberapa tempat, alam Borneo mulai tercemar dan rusak. Ancaman sedang ada di depan mata.

Lantas, siapa peduli nasib dan keberlangsungan etnis Dayak di masa datang? Tidak ada! Kecuali orang Dayak sendiri. Oleh karena itu, diperlukan sebuah upaya yang sinergis, dari berbagai kalangan, dari beragam disiplin ilmu, agar Dayak tetap eksis dan terhormat. Lebih dari itu, agar orang Dayak menjadi tuan di negeri sendiri.

Tidak bisa sendiri mengurai permasalahan orang Dayak. Dibutuhkan kerja sama berbagai pihak. Masing-masing, sesuai keahlian dan ilmunya, memberikan kontribusi nyata.

Yang bergerak di bidang politik, melapangkan jalan bagi para kader menjadi pemimpin masa depan. Yang bergerak di bidang pendidikan, mendidik putra/i Dayak menjadi manusia unggul. Yang bergerak di bidang kesehatan masyarakat, menjadikan orang Dayak sehat rohani jasmani. Yang bergerak di bidang agama, menjadikan orang Dayak bermoral dan bertabiat baik. Yang bergerak di bidang pemberdayaan ekonomi kerakyatan, menjadikan orang Dayak bebas secara finansial, bukan membuat mereka tergantung dan menjadi sapi perahan.

Menjadi Dayak adalah sebuah proses pemurnian alam asli dan habitus nenek moyang masa lalu tanpa harus terjebak menjadi primitif kembali. Sedemikian rupa, sampai akhirnya terakumulasi sebuah identitas “Dayak” untuk merangkum sekitar 500 subsuku Dayak yang tersebar di seluruh bumi Borneo.

Lalu yang bergerak di bidang budaya, membuDayakan orang Dayak. Salah satu pembudayaan itu ialah membuat orang Dayak melek bahwa menjadi Dayak sebuah anugerah, bukan kutukan.

Hingga pada akhirnya, meski sekarang pun sebenarnya sudah, orang Dayak bangga menjadi Dayak. Bukan seperti dulu: malu mengaku Dayak karena Dayak identik dengan primitif dan keterbelakangan.

Selama ini, budaya lisan dan seni tradisional Dayak kebanyakan diteliti dan dipublikasi orang luar. Ada kekurangannya: sudut pandang menjadi berbeda, dan sebagaimana halnya sebuah publikasi, selalu ada keberpihakan dan kekurangpahaman yang membuat karya itu menjadi berat sebelah.

Sebut saja hasil publikasi Jamie S. Davidson yang sarat bias karena sudut pandang Barat tentang politik Dayak. Di Barat pada umumnya, memang kekuatan ekonomi bersatu dengan kuasa dan politik, tapi di Kalimantan tidak demikian. Salah besar Davidson menuduh bahwa salah satu kekuatan ekonomi masyarakat Dayak menyokong, bahkan memprovokasi Kerusuhan Etnis di Kalbar pada 1999. Itu contoh sudut pandang.

Contoh lain. Orang Dayak oleh Carl Bock dikatakan manusia liar, seperti bebek yang pergi pagi, pulang sore, mencari makan. Tinggal di rumah yang tiangnya tinggi seperti kandang bebek. Ini salah besar! Sebab di Kalimantan, tiang tinggi untuk melindungi dari serangan binatang buas dan banjir.

Bock yang datang ke Borneo sebagai manusia kulit putih merasa dewa di antara penduduk kulit berwarna, merasa beda kelas dengan penduduk setempat, membawa pikiran baratnya, tidak paham bahwa di daerahnya orang Dayak lebih pintar menaklukkan alam dibanding orang Barat yang jika kakinya terkena luka saja maut siap menjemput akibat tetanus dan digigit serangga hutan sudah luka parah!

Tidak sedikit peneliti dan penulis barat yang terkena malaria sampai panas tinggi, hampir gila, bahkan ada yang mati; sementara orang Dayak cukup mencabut pasak bumi, menggigit, dan menelannya sebagai penawar lalu sembuh.

Atau contoh lain soal akurasi. Betapa Karl Helbig, yang orang Jerman itu, salah menulis tempat tinggal di mana ia melintas dan meneliti. Sungkukng di ditulisnya Songkong, sesuatu yang jika dilafalkan bahkan orang daerah perbatasan dengan Malaysia itu tidak paham di mana?

Siapa dalam hal itu lebih pintar berhadapan dengan alam dan lingkungan? Inilah, sekali lagi, perspektif! Perspektif orang luar selalu membawa konsep dan pemikiran sendiri di belakang kepalanya sesuai latar belakang dan pemahamannya.

Betapa hasil publikasi orang asing yang sarat bias itu kemudian mempengaruhi persepsi banyak orang tentang Dayak. Seakan-akan Dayak masihlah manusia primitif dan seperti hewan.

Itu tentu salah besar! Kita menyaksikan dan mengalami, kini orang Dayak maju dan banyak yang lebih kaya dan makmur dibanding desa-desa di Jawa sekalipun. Mereka tidak pernah kekurangan makan. Bahkan, mobil dan sepeda motor, juga antena parabola, kulkas, serta alat teknologi the new media adalah sesuatu  yang biasa bagi mereka.

Siapa yang mafhum perubahan dan kemajuan itu? Siapa yang terpanggil mengubah persepsi orang luar tentang Dayak?

Sejatinya, sejarah perubahan dan kemajuan sudah ditulis orang Dayak sendiri. Termasuk nasib dan masa depannya. Kami hanya mengabadikannya saja.

Menjadi Dayak adalah sebuah proses pemurnian alam asli dan habitus nenek moyang masa lalu tanpa harus terjebak menjadi primitif kembali. Sedemikian rupa, sampai akhirnya terakumulasi sebuah identitas “Dayak” untuk merangkum sekitar 500 subsuku Dayak yang tersebar di seluruh bumi Borneo.

Upaya membentuk identitas Dayak, tidak pernah mencapai titik nadir. Kesadaran dan “sensus Dayakus” harus terus-menerus dibangun dan ditumbuhkembangkan melalui upaya sadar dan serius, yakni pendididikan, termasuk pendidikan politik.

Tentu saja, yang tidak kalah penting ialah apa yang disebut dampak atau terpaan media (media impact/media exposure), antara lain semakin menggigihkan dan meningkatkan publikasi-publikasi baik itu analog maupun digital tentang A-Z Dayak.

Sebagaimana kita ketahui, dampak media bisa langsung. Namun, kerap terjadi secara akumulasi membentuk kesadaran masyarakat dan karena secara terus-menerus diterpa isu yang sama maka dianggap sebagai benar adanya.

Ke dalam konteks dampak media itulah publikasi tentang Dayak perlu terus-menerus dilakukan. Selain menjadi warisan generasi berikutnya, publikasi tentang Dayak dapat menginspirasi, menginformasi, dan mengedukasi, selain memberikan pemahaman dari Dayak oleh Dayak. Jika orang luar tidak mengenali tuntas siapa orang Dayak, minimal orang Dayak mengenal dirinya sendiri, lewat publikasi itu.

Meski tak ada orang Dayak sebagai nama suku, sebab lazimnya penduduk Kalimantan menamakan diri sesuai nama sungai, toh masih tebal anggapan Dayak kumpulan sebuah etnis. Untuk mudahnya, kompeni Belanda dahulu memberi label demikian.

Labeling yang semula peyoratif, bisa berubah menjadi positif. Yang mengubah citra itu tentu saja orang Dayak sendiri. Kini, tak ada yang malu mengaku dirinya orang Dayak. Berbeda dengan sepuluh tahun lalu. Bahkan, satu komunitas di Kalimantan Selatan, yang dahulu pemimpinnya secara resmi menyatakan keluar dari kelompok Dayak karena merasa nista, kini ingin kembali disebut Dayak. Menjadi Dayak hari ini suatu berkat, bukan lagi kutuk.

LihatTutupKomentar