Master Piece

master piece, mahakarya, Ngayau, Keling Kumang, Dayak Djongkang



Dalam khasanah bahasa Indonesia, judul narasi ini dapat dipadankan dengan: mahakarya. Kiranya mengawali narasi ini, patut terminologi itu dijelaskan. Sebab seseorang bertanya tanpa
tedeng aling-aling hal yang demikian ini:

"Sebagai penulis. Apa  yang abang bayangkan, atau yang  strategikan, yang menjadi master piece sebagai penulis?"

Begitu seorang master filsafat Dayak bertanya pada saya. Apa jawaban?

Saya balik bertanya. "Apa yang orang kenal, atau ketahui, dari seorang Basuki Abdullah?"

"Pelukis!" jawab sang filsuf.

"Persis!" sela saya. Sembari bertanya lebih lanjut. "Apakah orang umum mengenal, atau mafhum, apa karya atau judul lukisannya?"

"Tidak!"
"Tepat sekali! Hanya kaumnya, para pelukis. Atau pecinta lukisan. Atau kolektor dan orang 'bosan kaya' yang tahu karya dan judul lukisan Affandi. 

Oleh karena menyukai lukisan, dan kerap saya gunakan sebagai tamsil dalam menulis yaitu "Jadilah dulu master. Jika Anda master, lap tangan dan sampah pun dibilang: bagus" --maka saya cukup mafhum apa gerangan nama-nama bagi karya seni lukis maestro Affandi. Satu dari seribu yaitu: 

Nyi Roro Kidul. Cat minyak dan kanvas, 300 x 200 cm.
.
Rasa-rasanya, orang lain lah yang lebih fair menilai karya kita. Jika kita sendiri yang menilai, akan sarat dengan bias subjektivitas. Tempunakng muji labu --kata orang Sekadau. Memuji diri sendiri itu saru.

Jangankan bermimpi. Firasat pun tidak. Sejak menulis untuk umum di Kompas sejak tahun 1984, saya tidak pernah membayangkan karya master piece. Meski beberapa karya menang sayembara semisal Dayak Djongkang, novel sejarah Ngayau, Keling Kumang, 101 Tokoh Dayak, Jejak Peradaban Manusia Sungai Krayan, dan The History of Dayak; jauh dari pikiran bahwa karya-karya tulis itu adalah master piece.

Yang terpenting, apa pun dan di mana pun, kita kita tetap berkarya. Berkanjang pada bidang yang ditekuni. Perkara penilaian, biar urusan orang lain. (Masri Sareb Putra)

LihatTutupKomentar