Yupa, Bukti Literasi di Kalimantan Sejak Abad 4 Masehi
![]() |
Penampakan duplikat Batu Yupa di Museum Mulawarman. |
Literasi dan budaya tulis-baca memiliki akar yang kuat di Kalimantan sejak zaman kuno.
Pada ujung abad ke-4 Masehi, tepatnya melalui prasasti atau enskripsi Batu Yupa, literasi dan penggunaan tulisan dikenal di wilayah ini.
Baca Literasi Dayak: Prakondisi Hingga Jadi
Prasasti Batu Yupa: Saksi sejarah literasi
Prasasti Batu Yupa merupakan saksi dari keberadaan literasi pada masa itu.
Penggunaan aksara pallawa dan bahasa Sansekerta dalam prasasti ini menunjukkan tingkat pemahaman masyarakat Kalimantan terhadap sistem tulisan yang rumit dan bahasa klasik.
Dari berbagai pustaka yang ditemukan, terdapat indikasi bahwa pengaruh agama Hindu mulai memasuki Borneo pada akhir abad ke-4 Masehi.
Namun, dari prasasti Batu Yupa, kita juga tahu bahwa pada waktu tersebut, Borneo masih dianggap "asli" dan belum terpengaruh oleh agama Hindu yang datang dari India. Prasasti ini memainkan peran penting dalam mengungkapkan tahap awal perkembangan agama dan budaya di wilayah ini.
Dengan prasasti Batu Yupa sebagai bukti sejarah, Borneo terbukti menjadi pusat peradaban tertua di Nusantara. Seperti yang dikatakan oleh Marcus Tullius Cicero, "Historia vero testis temporum” (sejarah adalah saksi zaman), dan prasasti ini adalah saksi yang membuktikan keberadaan peradaban awal di Kalimantan.
Memperkuat pentingnya Borneo
Fakta ini memperkuat pentingnya Borneo dalam konteks sejarah dan peradaban Nusantara secara keseluruhan.
Informasi ini menunjukkan bahwa literasi bukanlah hal yang baru di Kalimantan. Sebaliknya, literasi telah dikenal dan bahkan tumbuh di kalangan penduduk setidaknya sejak zaman kuno.
Prasasti Batu Yupa adalah contoh konkret bagaimana masyarakat Kalimantan pada masa itu memiliki pengetahuan tentang sistem tulisan dan bahasa yang kompleks.
Ketujuh prasasti Yupa ditemukan di Kecamatan Muara Kaman. Mereka ditemukan pada waktu yang berbeda-beda, dengan empat prasasti ditemukan lebih dulu pada tahun 1879, dan tiga prasasti lainnya ditemukan pada tahun 1940-an.
Penemuan ini menggarisbawahi pentingnya eksplorasi dan penelitian arkeologi dalam mengungkap sejarah dan budaya suatu wilayah.
Perkembangan literasi di kalangan masyarakat Dayak tidak melupakan warisan yang telah ada, tetapi justru membangun fondasi yang lebih kuat untuk menghadapi tantangan global dan revolusi informasi.
Prasasti Batu Yupa ditulis dalam aksara pallawa dan menggunakan bahasa Sansekerta.
Melalui analisis paleografis, aksara yang digunakan dalam prasasti ini memiliki kesamaan dengan aksara Wenggi di Kalingga dan aksara Cera di Merkara, yang merupakan wilayah di India Selatan. Ini menunjukkan adanya pengaruh dan interaksi budaya antara Kalimantan dan wilayah India Selatan.
Dalam keseluruhan, informasi ini memberikan gambaran penting tentang sejarah, literasi, dan budaya Kalimantan pada masa lampau. Prasasti Batu Yupa menjadi saksi bisu tentang kemajuan literasi dan pengaruh budaya yang membentuk wajah peradaban Kalimantan pada zaman itu.
Literasi Kalimantan Era Digital
“Tingginya kilauan teknologi dan era digital yang melanda dunia saat ini tidak dapat menghapus jejak tradisi dan budaya yang telah mengakar dalam sejarah suatu masyarakat.
Baca Mengokohkan Eksistensi Dayak
Di tengah pusaran inovasi, literasi di kalangan masyarakat asli Kalimantan, khususnya suku Dayak, mengemuka sebagai contoh nyata bagaimana warisan literasi pada masa lalu tetap relevan dan bahkan tumbuh subur dalam zaman modern ini.
Seiring gemuruh kemajuan teknologi dan internet, tampaknya layak untuk menganggap bahwa budaya literasi yang tumbuh di kalangan masyarakat Dayak adalah hasil dari perkembangan baru-baru ini. Namun, kebenarannya jauh lebih mendalam dan menarik.
Rupanya, benih literasi telah tertanam dalam tanah Kalimantan jauh sebelum era digital memimpin arus informasi. Prasasti Batu Yupa, sebuah peninggalan bersejarah yang membawa kita ke ujung abad ke-4 Masehi, adalah saksi bisu dari praktik literasi pada masa lampau.
Baca Literasi Dan Kesiapan Dayak Menghadapi Revolusi 5.0
Inskripsi dalam aksara pallawa yang menghiasi Batu Yupa dan bahasa Sansekerta yang digunakan di dalamnya adalah bukti konkret bagaimana masyarakat Dayak telah mengenali arti dan kekuatan tulisan jauh sebelum gelombang digital melanda.
Namun,Literasi Dayak yang terjaga dengan baik tak hanya bersandar pada kilasan sejarah yang seakan membekukan waktu. Gelegar Sumpah Literasi di Batu Ruyud membuktikan bahwa literasi tidak hanya "diwariskan" dari masa lalu, tetapi terus diberdayakan dan digalakkan dalam wujud yang lebih kontemporer.
Inisiatif yang diprakarsai oleh tokoh seperti Dr. Yansen TP dan rekan-rekannya menunjukkan komitmen yang kuat untuk memastikan bahwa warisan literasi diteruskan dengan megah dan menjadi inti dari identitas Dayak yang terus berkembang.
Agenda literasi Dayak
Dalam pemandangan yang semakin jelas, agenda literasi di kalangan suku Dayak semakin diukuhkan melalui rencana Kongres Literasi Dayak Internasional I.
Perhelatan akbar literasi Dayak yang direncanakan pada akhir tahun 2023 di Desa Wisata Pulau Sapi, Kabupaten Malinau, akan menjadi panggung yang mempertunjukkan betapa literasi bukan hanya keterampilan, tetapi juga inti dari keberlanjutan budaya dan identitas masyarakat Dayak. Sebuah populasi yang diperkirakan mencapai 8 juta orang tersebar di seluruh dunia, menjadikan literasi sebagai benang merah yang mengikat masa lalu, masa kini, dan masa depan dalam satu jalinan yang tak terpisahkan.
Baca Sumbangsih Anak Jambi Untuk Dayak
Dalam era digital ini, perpaduan antara tradisi dan inovasi adalah kunci. Perkembangan literasi di kalangan masyarakat Dayak tidak melupakan warisan yang telah ada, tetapi justru membangun fondasi yang lebih kuat untuk menghadapi tantangan global dan revolusi informasi.
Pada hakikatnya, literasi tidak hanya mengenai membaca dan menulis, tetapi juga tentang memahami, menghargai, dan menerapkan nilai-nilai yang melekat dalam budaya.
Dayak tidak hanya menjadi penjaga tradisi, tetapi juga pelaku perubahan yang merentangkan jembatan antara masa lalu dan masa depan.
(Sutha Manggala)