Folklor Etnis Dayak: Sarawak Terdepan

folklor Dayak Sarawak, literasi Dayak, buku cerita rakyat Iban, publikasi budaya Borneo, folklor Bidayuh, riset budaya di Kuching, toko buku Kuching,

Penulis mengamati buku bertemakan Dayak di toko buku di Kuching
Penulis mengamati buku bertemakan Dayak di toko buku di Kuching. Ist.

Dalam ranah studi folklor etnis di Borneo, Dayak Sarawak patut diakui sebagai yang paling produktif dari segi jumlah publikasi. 

Jika dibandingkan dengan wilayah lain di Kalimantan, baik Indonesia, Brunei, maupun Sabah, jumlah buku dan dokumentasi tentang folklor etnis Dayak di Sarawak jauh lebih banyak dan terorganisir. 

Ini mencerminkan sebuah kesadaran kolektif masyarakat dan pemerintah Sarawak dalam mendokumentasikan, melestarikan, dan menerbitkan cerita rakyat, mitos, legenda, hingga nyanyian tradisional dalam bentuk buku dan media cetak lainnya.

Baca Pelestarian Warisan Budaya Lewat Bengkel Bepantun Iban 2025

Folklor yang dimaksud tidak hanya terbatas pada narasi mitologis atau kisah kepahlawanan. Banyak pula yang membahas pantun-pantun Iban, teka-teki dalam bahasa Bidayuh, cerita rakyat anak-anak, bahkan tradisi lisan seputar pertanian, sistem pengobatan tradisional, dan adat istiadat pernikahan. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan mereka terhadap folklor bersifat menyeluruh dan lintas-disiplin: bukan sekadar cerita, tetapi juga cerminan kehidupan sehari-hari dan sistem pengetahuan tradisional yang telah diwariskan turun-temurun.

Pengalaman Riset dan Pengamatan di Kota Kuching

Ketika saya berada di Kota Kuching dalam rangka riset muhibah budaya, saya menyempatkan diri tidak hanya mengunjungi Museum Sarawak—yang memang sangat kaya dengan koleksi artefak Dayak—tetapi juga menjelajahi sejumlah toko buku lokal. Ternyata, toko-toko buku di Kuching bukan sekadar ruang menjual buku; mereka juga menjadi etalase perkembangan literasi dan dinamika penerbitan di Sarawak.

Baca Industri Buku pada Era The New Media

Saya tenggelam dalam dunia buku. Di setiap sudut rak, saya menemukan berbagai judul yang menyoroti aspek-aspek budaya Dayak. Ada buku-buku berbahasa Inggris, Melayu, bahkan asli dalam bahasa Iban dan Bidayuh. Inilah kekayaan khas Sarawak: pelestarian budaya lokal dilakukan melalui bahasa aslinya. Tidak semua naskah diterjemahkan, karena ada kesadaran akan pentingnya mempertahankan semangat dan konteks asli dari setiap cerita.

Beberapa buku bahkan merupakan hasil riset kolaboratif antara penulis lokal dengan akademisi luar negeri. 

Ada pula buku yang ditulis oleh generasi muda Iban dan Bidayuh, menandakan bahwa kesadaran literasi dan pelestarian folklor tidak berhenti di generasi tua saja. Ini merupakan perkembangan positif yang patut dicontoh oleh komunitas Dayak lainnya di Borneo.

Literasi Lokal sebagai Pilar Identitas Budaya

Salah satu faktor kunci mengapa Sarawak unggul dalam literasi folklor adalah adanya ekosistem penerbitan yang cukup aktif. Pemerintah negara bagian, institusi pendidikan, serta organisasi budaya lokal seperti Tun Jugah Foundation, The Borneo Literature Bureau, dan beberapa universitas seperti UNIMAS, memainkan peran penting dalam mendukung publikasi buku-buku folklor ini.

Selain itu, masyarakat Sarawak, terutama komunitas Dayak, menunjukkan minat tinggi terhadap literasi lokal. Buku-buku folklor tidak hanya ditemukan di museum atau perpustakaan kampus, melainkan juga dijual bebas di toko-toko buku umum. Bahkan, beberapa kedai buku menaruh rak khusus untuk “Dayak Culture” atau “Borneo Indigenous Stories,” sesuatu yang jarang ditemukan di wilayah Kalimantan bagian Indonesia.

Baca Terjemahan Buku Filsafat Dayak ke Bahasa Malaysia: Kolaborasi Intelektual Lintas Sempadan

Folklor dalam bahasa Iban dan Bidayuh tampaknya mendominasi koleksi literatur lokal. Hal ini memperkuat argumen bahwa bahasa lokal merupakan medium yang sangat efektif dalam menjaga kedekatan emosional antara narasi dan pembacanya. 

Dalam bahasa asli, sebuah cerita tidak hanya dibaca, tetapi juga “dirasakan.”

Tantangan dan Inspirasi bagi Kalimantan

Apa yang terjadi di Sarawak seharusnya menjadi inspirasi bagi wilayah lain di Borneo, khususnya Kalimantan. Meskipun terdapat banyak cerita rakyat, mitos, dan tradisi lisan Dayak di Kalimantan Barat, Tengah, Selatan, maupun Timur, jumlah buku yang tersedia di pasaran masih sangat terbatas. Padahal, folklor merupakan pintu masuk penting untuk memahami jati diri suatu etnis.

Ketiadaan dokumentasi bukan berarti ketiadaan pengetahuan. Sebaliknya, banyak pengetahuan lokal yang masih tersembunyi dalam bentuk tacit knowledge—tertahan dalam ingatan para tetua adat dan belum sempat ditranskripsikan menjadi buku. Tanpa inisiatif konkret, pengetahuan ini akan hilang bersama waktu.

Sarawak menunjukkan bahwa dengan dukungan sistematis dan minat kolektif, warisan budaya lokal bisa dituliskan, dicetak, dan didistribusikan. Sarawak adalah bukti hidup bahwa folklor bukan warisan mati, melainkan sumber daya budaya yang terus hidup melalui literasi.

Menuju Literasi Budaya yang Inklusif

Dari pengalaman riset singkat di Kuching, saya menyimpulkan bahwa literasi folklor bukan hanya soal menulis buku, melainkan juga membangun kesadaran budaya. Dayak Sarawak telah mengambil langkah konkret, dan hasilnya terlihat nyata dalam jumlah serta kualitas publikasi mereka.

Sudah saatnya Kalimantan mengikuti jejak ini. Folklor Dayak, dalam segala keberagamannya, tidak kalah kaya. Yang dibutuhkan hanyalah komitmen untuk mendokumentasikan, menulis, menerbitkan, dan membaca kembali warisan budaya sendiri.

-- Masri Sareb Putra

LihatTutupKomentar