Harga Sebuah Bacaan
| Kita belum sadar harga sebuah bacaan. ist. |
Orang Barat punya satu kebiasaan kecil yang bagi kita tampak sepele, tetapi sesungguhnya mencerminkan kedewasaan budaya mereka. Ketika mereka membaca sebuah postingan, menonton video, atau menikmati konten apa pun, mereka hampir selalu meninggalkan jejak. Mereka klik. Mereka like. Mereka subscribe.
Oang bule menandai bahwa mereka sudah menerima sesuatu. Karena itu mereka merasa perlu memberi sesuatu kembali, walaupun hanya satu sentuhan jari.
Di sana, klik bukan sekadar klik. Itu adalah etika timbal balik. Sebuah isyarat bahwa pengetahuan tidak boleh berjalan satu arah. Sebuah pengakuan yang mengatakan, “Aku sudah mendapat manfaat, inilah balasanku.”
Tindakan kecil yang tak pernah diminta, namun diberikan sebagai tanda bahwa setiap karya lahir dari seseorang yang bekerja dengan sungguh-sungguh.
Kita belum memiliki kebiasaan itu. Atau mungkin kita tidak peduli. Kita membaca lalu hilang begitu saja. Kita menonton lalu pergi tanpa meninggalkan tanda. Kita banyak menuntut, tetapi sedikit memberi.
Menuntut, lupa memberi
Kita menuntut tulisan yang kuat, riset yang rapi, analisis yang jernih. Kita ingin penulis selalu hadir dengan cara yang cerdas dan runtut. Kita ingin hampir semuanya. Namun kita sering lupa bahwa semua itu tidak muncul dari ruang kosong. Ada waktu yang terambil dari kehidupan seseorang. Ada pikiran yang tersarikan dari perjalanan panjang. Ada ketekunan yang tidak terlihat.
Ada seseorang berkanjang di balik sebuah tulisan yang rapi dan berbobot!
Anehnya, setelah membaca, kita berlalu tanpa jejak. Tanpa tanda bahwa kita pernah hadir. Tanpa pengakuan bahwa ada sesuatu yang sudah kita terima dari seseorang yang bekerja di balik layar.
Padahal penghargaan tidak selalu berbentuk uang. Tidak selalu berupa bayaran. Intinya terletak pada kedewasaan budaya. Cara kita memperlakukan sebuah pengetahuan menentukan apakah ia sekadar konsumsi atau sesuatu yang patut dihormati.
Saat kita mulai menyadari hal sesederhana ini, kita bukan hanya menghargai penulis atau pembuat konten. Kita sedang menghargai diri kita sendiri sebagai bagian dari masyarakat yang mau belajar, mau mengakui, dan mau memberi kembali. Bahkan jika hanya lewat satu klik kecil yang maknanya jauh lebih besar daripada yang tampak di permukaan.
Kadang saya berpikir: mungkin bangsa ini sesungguhnya cerdas. Tetapi kita belum selesai belajar menghargai. Belum selesai memahami bahwa peradaban dibangun bukan hanya oleh mereka yang menulis atau meneliti, tetapi juga oleh mereka yang membaca dengan kesadaran.
Bacaan yang tidak pernah benar-benar gratis
Barangkali kita baru akan berubah ketika kita mulai mengakui hal yang paling sederhana:
bahwa sebuah bacaan, sekecil apa pun, tidak pernah benar-benar gratis.
Selalu ada seseorang yang mengorbankan waktu, pikiran, dan hidupnya untuk membuatnya hadir.
Namun ada hal lain yang lebih sunyi, yang jarang kita sebut. Setiap tulisan membawa sebidang jiwa penulisnya. Ada letih yang disembunyikan, ada harapan yang belum tuntas, ada kegelisahan yang ditulis karena kalau tidak, ia hanya akan mengendap menjadi beban. Ketika kita membaca tanpa jejak, sesungguhnya kita memungut sebagian dari jiwa itu tanpa mengucapkan terima kasih.
Di titik itu, saya merasa kita kehilangan sesuatu yang penting: rasa takzim kepada pengetahuan. Rasa hormat kepada upaya manusia untuk memahami dunia. Mungkin kita perlu mulai dengan hal kecil: menandai bahwa kita hadir. Mengakui bahwa sebuah pikiran telah menjangkau kita. Karena menghargai bacaan, pada akhirnya, adalah cara paling sederhana untuk merawat peradaban agar tetap bernyala.
Jakarta, 3 Desember 2025
Masri Sareb Putra
0 Komentar