Beras
| BERAS komoditas yang berpotensi jadi alat politik dan pencitraan. |
Beras datang dari tanah yang lama diam. Tanah yang menyimpan riwayat manusia, musim, dan kemungkinan. Dari benih kecil yang ditanam dengan harap tak bersuara. Dari tetes keringat yang jatuh tanpa keluh. Dari kesabaran yang tumbuh perlahan. Seperti doa yang tidak ingin dikenal, tetapi bekerja.
Beras makanan pokok. Tetapi lebih tua dari sebutan itu. Beras jantung peradaban. Ia alasan banyak kampung bertahan ketika dunia berubah terlalu cepat. Beras disuapkan ibu untuk pertama kali. Lalu untuk kesekian kali sampai kita dewasa. Dalam suap itu ada kasih. Ada restu. Ada cara yang lembut untuk mengatakan: hiduplah.
Beras mengajarkan manusia mengenal waktu. Menunggu. Tidak memaksa. Tidak memburu. Ia tumbuh dengan diam yang panjang. Padi tidak memaki angin. Tidak menawar hujan. Ia menerima. Ia merunduk ketika matang. Dan pelajaran itu seharusnya cukup untuk sebuah bangsa yang gemar gaduh. Merunduk bukan tanda kalah. Merunduk adalah tanda siap.
Namun manusia sering lupa. Kita, yang hidup dari tanah, terseret arus yang ingin serba cepat. Kita ingin panen sebelum menanam. Hasil sebelum proses. Sorak sebelum kerja. Padahal beras tidak lahir dari tergesa. Ia lahir dari ketekunan yang nyaris ritual.
Dalam banyak rumah, beras menjadi simbol kehidupan. Ia menjadi tanda kelimpahan. Juga tanda kekurangan. Dapur yang penuh beras membuat hati tenang. Dapur yang kosong membuat orang menunduk lebih lama. Dalam budaya kita, beras sering diibaratkan nafas. Ia tidak boleh tercerai dari kehidupan dengan ceroboh. Ia tidak boleh disia-siakan.
Ada cerita tentang nenek-nenek di kampung yang memungut sebutir beras yang jatuh ke lantai. Mereka meniupnya pelan. Menaruhnya kembali ke piring.
Beras punya nyawa
“Beras punya nyawa,” kata mereka. “Ia harus dihormati.” Kata itu sederhana. Tetapi di baliknya ada kesadaran mendalam tentang hubungan manusia dan alam. Tentang syukur. Tentang batas.
Memberi beras adalah bentuk paling tua dari belarasa. Lebih tua dari pidato. Lebih jujur dari peraturan. Satu genggam pun bisa menyelamatkan seseorang dari lapar. Memberi beras adalah memberi hidup. Memberi ruang bagi harapan untuk tetap menyala. Tidak perlu kata panjang. Tidak perlu seremoni. Dua tangan yang bertemu sudah cukup menjelaskan segalanya.
Beras menciptakan ikatan tak tertulis antar manusia. Di desa-desa, orang berbagi beras saat ada pesta panen. Saat ada keluarga berduka. Saat ada tetangga yang dilanda sakit. Beras melampaui agama. Adat. Politik. Ia adalah bahasa yang dipahami semua perut. Semua hati.
Namun zaman tidak lagi sepenuhnya polos. Ada manusia yang menjadikan beras sebagai panggung. Mereka memikul karung beras untuk kamera. Untuk tepuk tangan. Untuk kampanye. Untuk citra yang indah di layar, tetapi kosong di hati. Mereka berjalan sambil menoleh pada lensa. Bukan pada orang lapar.
Keringat dibuat-buat. Senyum diatur. Niat dibungkus. Dan beras, yang seharusnya suci sebagai pemberi hidup, berubah menjadi alat untuk menaikkan pamor. Ada jarak antara tangan yang benar-benar memberi dan tangan yang bermain peran. Jarak itu tidak terlihat mata, tetapi dirasakan nurani.
Beras yang kehilangan makna
Kadang kita bertanya. Kapan beras mulai kehilangan makna? Atau jangan-jangan manusianya yang hilang arah? Dunia modern mengubah banyak hal. Bantuan dijadikan konten. Kepedulian dijadikan dagangan. Lapar dijadikan peluang. Semua ingin terlihat heroik tanpa menjalani keheningan memberi.
Padahal memberi beras tidak perlu panggung. Tidak perlu spanduk. Tidak perlu juru bicara. Tidak perlu tepuk tangan. Ia hanya butuh kepekaan. Butuh hati yang mengerti bahwa hidup orang lain tak boleh dipaksa menjadi ornamen. Ketika memberi menjadi tontonan, keindahannya lenyap.
Beras mengingatkan kita pada kesederhanaan yang tertinggal. Pada nilai yang menunggu untuk dipungut kembali. Pada pelajaran lama yang kini terasa asing: kenyang tidak hanya urusan perut. Ia urusan martabat.
Beras membentuk kebiasaan. Kebiasaan membagi. Kebiasaan memahami. Kebiasaan hadir untuk sesama. Jika kebiasaan itu hancur, masyarakat ikut retak. Bukan karena beras itu sendiri. Tetapi karena roh yang menyertainya hilang dari hati manusia.
Dalam tiap butir beras ada perjalanan panjang. Dari tanah yang digarap. Dari tangan yang menanam. Dari hujan yang turun. Dari matahari yang membakar. Dari angin yang menyapa. Dari ibu yang menampi. Dari petani yang bertahan. Dari doa yang naik tanpa suara.
Butir kecil itu menyimpan lebih banyak hikmah daripada banyak pidato. Ia mengingatkan bahwa hidup tidak berdiri atas ambisi. Hidup berdiri atas kerja kecil yang terus diulang. Atas kesetiaan melakukan hal sederhana yang memberi makan banyak orang. Atas kerendahan hati menerima peran yang tak selalu terlihat.
Ketika kita makan nasi, kita sebenarnya memakan sejarah. Kita memakan jejak tangan manusia yang bekerja dalam diam. Kita memakan harapan yang tumbuh perlahan. Kita memakan syukur yang ditanam jauh sebelum kita lahir. Dan dalam tiap suap, seharusnya lahir kesadaran bahwa hidup ini bukan hanya tentang kita. Hidup adalah mata rantai yang diikat oleh kebutuhan untuk saling menguatkan.
Beras tidak pernah membentak
Beras tidak pernah membentak. Ia hanya hadir. Ia memberi tanpa syarat. Ia memeluk manusia setiap hari tanpa minta balasan. Dan mungkin, di sana letak kebijaksanaannya. Ia tidak butuh pengakuan. Ia hanya ingin menjalankan tugasnya: membuat manusia bertahan. Membuat manusia ingat asal-usul. Membuat manusia tidak lupa bahwa kelimpahan tidak datang dari gaduh, tetapi dari kesunyian yang bekerja.
Pada akhirnya, beras adalah cermin. Cermin tentang siapa kita. Tentang niat yang tersembunyi. Tentang cara kita memberi dan menerima. Tentang kemampuan kita untuk tetap manusia di tengah dunia yang mengagungkan tampilan.
Jika suatu hari bangsa ini ingin kembali menjadi bijak, mulailah dari beras. Dari menghormatinya. Dari memberinya dengan tulus. Dari memikulnya tanpa kamera. Dari belajar merunduk seperti padi. Dari mengerti bahwa kehidupan yang baik lahir bukan dari sorak dan sorot, tetapi dari keheningan yang memberi ruang bagi jiwa untuk tumbuh.
Beras adalah pelajaran paling sederhana. Juga paling dalam.
Jakarta, 02 Desember 2025
Eremespe
0 Komentar