Agnotologi di Borneo Masa ke Masa
Agnotologi di Borneo masa ke masa: waspadalah!
Oleh Masri Sareb Putra, M.A.
Ada sepatah kata yang lahir dari laboratorium kritik: agnotology.
Ia ilmu tentang produksi ketidaktahuan. Mirip jejak yang sengaja dihapus dalam buku sejarah, atau baris-baris yang dibuat samar agar orang tak lagi yakin pada ingatan mereka sendiri. Di dalamnya bekerja sebuah mesin yang halus. Ia bukan sekadar menyembunyikan pengetahuan, tetapi menciptakan kebodohan yang sistematis.
Ada usaha yang lebih sunyi, lebih terencana. Untuk membuat orang tidak tahu bahwa mereka sedang tidak tahu.
Kolonialisme pernah menguasai wilayah dengan senjata, tetapi kekuasaan yang paling langgeng justru tidak datang dari bedil. Ia datang dari ilmu, atau lebih tepatnya: dari apa yang disebut sebagai ilmu. Ia datang dari agnogenesis: upaya sistematis untuk membangun ketidaktahuan demi kepentingan penguasa.
Sebelum pemerintah Hindia Belanda menjejakkan sepatu botnya di tanah Borneo, mereka lebih dulu mengirimkan para peneliti: ahli botani, kartografer, antropolog, juru bahasa. Mereka memetakan apa yang tampak dan apa yang tidak tampak: hasil hutan, sungai-sungai, adat, relasi kuasa, bahkan pola berpindahnya angin. Mereka belajar tentang Segala Sesuatu agar suatu hari bisa mengatakan bahwa merekalah pemilik pengetahuan itu.
Kolonialisme bukan hanya menguasai tanah. Kolonialisme menguasai cara orang memahami dirinya, sejarahnya, masa depannya.
Setelah pengetahuan dikumpulkan, mereka membangunnya sebagai arsitektur pengetahuan kolonial: sebuah bangunan raksasa yang menata data menjadi doktrin. Lalu, dari bangunan itu, negara kolonial menulis buku pelajaran, menentukan istilah, memberi nama pada suku, tanah, pohon, sungai. Nama adalah kuasa. Pengetahuan adalah kuasa. Dan ketidaktahuan yang diproduksi juga kuasa.
Di Jawa, proyek raksasa ini berlangsung lebih dari tiga setengah abad. Di Borneo, hanya enam puluh tahun: tetapi angka itu keliru terbaca oleh sejarah resmi. Enam puluh tahun itu dianggap enteng: seolah ia bukan luka. Padahal enam puluh tahun cukup bagi sebuah kekuasaan untuk menanam benih: benih ragu terhadap diri sendiri, benih tunduk pada pengetahuan yang bukan milik kita.
Kolonialisme bukan hanya menguasai tanah. Lebih dari itu, Kolonialisme menguasai cara orang memahami dirinya, sejarahnya, masa depannya.
Hari ini, kita sering merasa telah bebas. Tetapi ketahuilah: agnotology tidak pernah mati. Ia sekadar berubah rupa. Tidak lagi di tangan pemerintah kolonial, melainkan di tangan kekuatan lain yang lebih abstrak: pasar, algoritma, negara, perusahaan. Mereka menulis ulang dunia dalam bentuk data, grafik, kurikulum, dokumen riset, dan konten digital.
Kita tak lagi dijajah oleh VOC, tetapi oleh arus informasi yang memilihkan apa yang kita lihat dan apa yang kita abaikan. Ketidaktahuan hari ini dibangun dengan lebih canggih: lebih senyap: lebih persuasif. Ia disebut modernisasi, pembangunan, “pengetahuan baru”. Ia membuat kita percaya bahwa sejarah Borneo hanya tentang hutan yang bisa dibakar, tanah yang bisa dijual, sungai yang bisa dibendungi.
Pertanyaannya: kita sadar atau tidak?
Bahwa ketidaktahuan ini bukan kebetulan? Bahwa ia dibangun? Bahwa ia dirawat?
Karena itu, agnotology harus kita hadapi bukan dengan kemarahan, melainkan dengan epistemologi: cara baru membaca: cara baru memahami. Kita perlu rekonstruksi: atau bila perlu, dekonstruksi atas pengetahuan yang diwariskan. Kita ungkap lapisan-lapisannya: kita periksa motif-motifnya: kita bongkar struktur yang menyembunyikan nama-nama kita sendiri.
Sejarah tidak pernah sepenuhnya milik penakluk: sepanjang kita masih berani menuliskannya kembali.
Dan pada akhirnya: epistemologi bukan milik akademi semata. Ia adalah tindakan untuk kembali menemukan diri. Sebab yang hilang bukan hanya pengetahuan tentang Borneo: tetapi pengetahuan Borneo tentang dirinya sendiri.
Agnotology adalah hantu kolonial yang tetap berjalan di lorong-lorong pikiran kita. Tetapi ia hanya bisa bertahan selama kita tak menyadari kehadirannya. Begitu lampu dinyalakan: ia kehilangan bentuknya.
Mungkin tugas kita hanyalah itu:
Menyalakan lampu.
0 Komentar