Mas Bagya, Buku, dan Kawan Selamanya

Saya (kanan) menyerahkan roman kepada mas Bagya. Ist.

Kanca lawas, dadiya  kanca sa' lawase.

Kawan lama, jadilah kawan selama-lamanya.

Pepatah Jawa ini lahir dari kesunyian yang panjang, dari luka yang tahu cara sembuh, dari kenangan yang tak ingin dibunuh waktu. Ia tidak meledak, tidak berteriak, hanya berbisik di sudut hati, namun terasa abadi. 

Mungkin karena itu, saya mengingatnya hari ini, seperti orang yang tiba-tiba mendengar denting gamelan di tengah hutan, di sebuah rumah yang jauh dari keramaian. 

Suasana itu hadir kembali ketika saya dan Gunawan bertamu ke rumah Mas Bagya di Ciledug. Siang 29 Juli bagai hari baru bagi kami, meski puluhan tahun lalu telah berlalu.

Siang itu bukan pertemuan biasa. Ia seperti jendela yang mendadak terbuka, mempersilakan angin masa lalu masuk, membawa suara-suara yang sempat hilang, dan wajah-wajah yang sempat kita lipat rapi dalam album kepala. 

Saya mendadak bukan saya yang hari ini, tapi saya yang dulu, duduk di meja kecil Grasindo, September 1989, di Palmerah Selatan, Jakarta Pusat, mengenakan kemeja tak-diseterika, tapi bermimpi besar.

Saya duduk di meja-kerja Grasindo, September 1989, di Palmerah Selatan, Jakarta Pusat. Ist.

Mas Bagya adalah nama pertama yang saya kenal di ruangan itu. Saya masuk sebagai copy editor, jenjang paling bawah dalam dunia penyuntingan. Ia sudah di atas, Kabag Pemasaran, tangkas dan tenang. Tapi kekuasaan tak pernah menumpul di tangannya, ia tak menggertak, tak membentak, malah membuka ruang. 

Beberapa tahun kemudian, ketika saya diangkat menjadi Kepala Seksi Promosi, kami bersinggungan lebih dekat. Saya menyusun brosur, katalog, mengiklan di Kompas, mengenalkan produk, membuat narasi, dan ia selalu hadir, bukan sebagai pengawas, tapi mitra dalam berpikir.

Pernah kami berbeda pandang, tetapi tidak pernah berbeda hati. Ia tak pernah menjatuhkan. Ia tahu, bahwa di balik segala pekerjaan, ada sesuatu yang lebih penting untuk dijaga: martabat, dan persaudaraan.

Waktu melipat dirinya seperti surat tua. Tahun 2010, kami bertemu lagi, tetapi dunia sudah membalik. Saya kepala, beliau staf, di sebuah institusi pendidikan. Tapi status tak lagi penting. Relasi kami tak dilipat oleh jabatan. Kami sudah menjadi saudara. Kami sudah dewasa, jasmani dan rohani. Tidak ada lagi yang ingin unggul, tidak ada lagi yang harus menang. Yang tersisa adalah saling memahami bahwa hidup itu fana, dan waktu tak bisa diajak tawar-menawar.

Lalu saya pergi. Pindah kerja. Membawa tubuh saya jauh dari mereka, tetapi tidak bisa benar-benar membawa pergi kenangan. Ia menetap, seperti batu di dasar sungai, tak terlihat, tapi tak pernah lenyap.

Kemarin, saya dan Gunawan datang ke rumah Mas Bagya. Ia dan istrinya menyambut kami seperti menerima anak pulang dari pengembaraan. Rumahnya sederhana, tenang, pohon pisang tumbuh di halaman, dan dari sana, ia memetik buah untuk kami, sebagai oleh-oleh. Saya terdiam. Pisang itu bukan sekadar buah, tapi lambang kesetiaan waktu yang tidak busuk, meski sudah lewat musim.

Saya memberi Mas Bagya buku kecil yang saya tulis, Obituari Bertha, roman yang getir, tentang cinta yang tak sempat selesai. Ia membaca, lalu mengirim pesan lewat WA: “Dibaca bersama Ziarah Batin.”

Saya terpaku. Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan, mungkin karena hidup ini pada dasarnya adalah ziarah, dan setiap orang yang kita temui, setiap kawan lama, adalah batu penanda di jalan panjang menuju keabadian.

Mas Bagya adalah batu itu, kokoh, tak bergeser, sekaligus diam-diam memberi terang.

Saya tidak tahu kapan kami akan bertemu lagi. Tapi saya tahu satu hal, yang tak perlu dikatakan, tak perlu dijanjikan:

Ia akan tetap kawan saya, selamanya.

Jakarta, 30 Juli 2025

LihatTutupKomentar