Keterbatasan Digitalisasi Buku dan Kebenaran Informasi di Internet
ilustrasu oleh Grok sesuai teks.
Dalam era digital yang serba cepat, internet telah menjadi sumber utama pengetahuan bagi banyak orang.
Dengan sekali klik, kita dapat mengakses jutaan artikel, jurnal, dan bahkan buku. Namun, anggapan bahwa semua pengetahuan di dunia telah tersedia secara digital di internet adalah sebuah ilusi.
Dua gagasan utama yang perlu dikritisi adalah: pertama, tidak mungkin semua buku atau referensi tersedia di internet karena keterbatasan digitalisasi, seperti yang terlihat dari kegagalan proyek seperti Gutenberg Project akibat hambatan hak cipta; kedua, tidak semua informasi di internet dapat dianggap benar.
Kedua gagasan ini saling berkaitan, mencerminkan tantangan besar dalam mengandalkan internet sebagai sumber pengetahuan tunggal. Tulisan ini akan menganalisis kedua isu tersebut secara mendalam, mengaitkan implikasinya terhadap akses pengetahuan dan kebenaran informasi di era digital.
Keterbatasan Digitalisasi Buku
Proyek Gutenberg, yang dimulai pada tahun 1971 oleh Michael S. Hart, adalah salah satu inisiatif paling ambisius untuk mendigitalkan buku-buku yang pernah diterbitkan, terutama yang telah bebas dari hak cipta. Tujuannya mulia: menyediakan akses gratis ke karya-karya literatur dunia.
Namun, kenyataannya, proyek ini menghadapi kendala besar, terutama terkait hak cipta. Banyak buku, terutama yang diterbitkan setelah tahun 1920-an, masih dilindungi oleh undang-undang hak cipta di berbagai negara, yang berlangsung hingga 70 tahun setelah kematian penulis di beberapa yurisdiksi.
Akibatnya, hanya sebagian kecil buku, diperkirakan sekitar 30% dari total buku yang pernah diterbitkan, yang tersedia secara digital di internet, dan itupun sering kali tidak utuh.
Buku-buku digital yang tersedia secara gratis biasanya hanya mencakup bab-bab tertentu, cuplikan, atau edisi yang sudah ketinggalan zaman. Misalnya, platform seperti Google Books atau Internet Archive sering kali hanya menyediakan "pratinjau terbatas" untuk buku-buku yang masih dilindungi hak cipta, yang membatasi akses ke konten lengkap.
Untuk mendapatkan akses penuh, pengguna sering kali harus membayar atau berlangganan layanan seperti Amazon Kindle, JSTOR, atau Elsevier, yang tidak selalu terjangkau bagi semua orang.
Di sisi lain, buku-buku analog, yang mencakup mayoritas karya akademik, literatur klasik, atau terbitan khusus, hanya dapat diakses melalui perpustakaan fisik atau koleksi pribadi. Hal ini menegaskan bahwa perpustakaan tetap relevan sebagai gudang pengetahuan yang tidak dapat sepenuhnya digantikan oleh internet.
Keterbatasan ini berimplikasi besar terhadap akses pengetahuan. Di negara-negara berkembang, di mana akses ke perpustakaan fisik sering kali terbatas oleh jarak, biaya, atau kurangnya infrastruktur, ketergantungan pada internet dapat memperdalam kesenjangan pengetahuan.
Selain itu, buku-buku yang tidak didigitalkan sering kali adalah karya-karya penting dalam bidang tertentu, seperti manuskrip langka, buku-buku akademik khusus, atau literatur lokal yang tidak memiliki pasar komersial besar untuk didigitalkan. Dengan demikian, anggapan bahwa internet adalah solusi lengkap untuk akses pengetahuan adalah pandangan yang terlalu optimistis, mengabaikan realitas struktural.
Ketidakpastian Kebenaran Informasi di Internet
Gagasan kedua yang perlu diperiksa adalah bahwa tidak semua informasi di internet dapat dianggap benar. Internet adalah ruang terbuka di mana siapa saja dapat mempublikasikan konten tanpa proses verifikasi yang ketat.
Berbeda dengan buku cetak atau jurnal akademik, yang biasanya melalui proses editorial dan peer review, konten di internet sering kali tidak memiliki filter yang memadai. Blog pribadi, forum, dan bahkan situs yang tampak kredibel dapat menyebarkan informasi yang keliru, bias, atau sengaja menyesatkan.
Fenomena seperti misinformasi, disinformasi, dan "fake news" telah menjadi masalah besar, terutama di era media sosial.
Sebagai contoh, sebuah survei oleh Pew Research Center pada tahun 2020 menunjukkan bahwa sekitar 60% orang dewasa di Amerika Serikat pernah menemukan informasi yang salah di media sosial. Fenomena ini diperparah oleh algoritma yang memprioritaskan konten berdasarkan keterlibatan (engagement) daripada kebenaran. Akibatnya, informasi yang sensasional atau kontroversial sering kali lebih viral dibandingkan fakta yang kering dan terverifikasi. Bahkan, situs-situs seperti Wikipedia, meskipun bermanfaat, dapat diedit oleh pengguna anonim, yang menimbulkan risiko kesalahan atau manipulasi.
Keterbatasan digitalisasi buku dan ketidakpastian kebenaran informasi di internet saling berkaitan erat. Ketika buku-buku akademik atau referensi terpercaya tidak tersedia secara digital, pengguna internet sering kali beralih ke sumber-sumber yang kurang dapat dipercaya, seperti artikel blog atau postingan media sosial, untuk mengisi kekosongan informasi. Hal ini menciptakan lingkaran setan: keterbatasan akses ke sumber terpercaya mendorong ketergantungan pada informasi yang tidak diverifikasi, yang pada gilirannya memperburuk penyebaran misinformasi.
Implikasi dan Solusi
Keterkaitan antara keterbatasan digitalisasi dan ketidakpastian kebenaran informasi menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih kritis terhadap penggunaan internet sebagai sumber pengetahuan.
Pertama, penting untuk meningkatkan literasi digital di kalangan masyarakat. Literasi digital tidak hanya mencakup kemampuan untuk menggunakan teknologi, tetapi juga keterampilan untuk mengevaluasi kebenaran dan kredibilitas sumber informasi. Pendidikan tentang cara memverifikasi sumber, seperti memeriksa kredensial penulis, tanggal publikasi, atau reputasi platform, harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan.
Kedua, pemerintah dan institusi akademik perlu berinvestasi lebih besar dalam digitalisasi buku dan referensi, sambil menghormati hak cipta. Model seperti open access untuk jurnal akademik dapat diperluas ke buku-buku, dengan dukungan dana dari pemerintah atau filantropi untuk memastikan akses yang lebih luas. Selain itu, perpustakaan digital nasional, seperti yang telah dikembangkan di beberapa negara, dapat menjadi solusi untuk menyediakan akses ke buku-buku yang tidak tersedia secara komersial.
Ketiga, kolaborasi antara perpustakaan fisik dan platform digital dapat menjadi jembatan untuk mengatasi kesenjangan akses. Misalnya, perpustakaan dapat menyediakan layanan pinjaman digital atau akses jarak jauh ke koleksi fisik mereka melalui pemindaian sesuai permintaan. Ini akan membantu memastikan bahwa buku-buku yang tidak tersedia di internet tetap dapat diakses oleh masyarakat luas.
Yang dapat kita lakukan
Internet, meskipun merupakan alat yang luar biasa untuk penyebaran pengetahuan, bukanlah solusi sempurna untuk akses informasi. Kegagalan proyek seperti Gutenberg Project menunjukkan bahwa digitalisasi buku terhambat oleh masalah hak cipta, sehingga hanya sebagian kecil buku yang tersedia secara digital, dan sering kali tidak lengkap.
Di sisi lain, ketidakpastian kebenaran informasi di internet memperburuk tantangan ini, karena pengguna sering kali terpaksa mengandalkan sumber yang kurang kredibel. Kedua masalah ini saling memperkuat, menciptakan kesenjangan pengetahuan yang signifikan.
Untuk mengatasinya, diperlukan kombinasi literasi digital, investasi dalam digitalisasi, dan integrasi antara sumber fisik dan digital. Hanya dengan pendekatan yang seimbang, kita dapat memastikan bahwa pengetahuan tetap dapat diakses, akurat, dan inklusif di era digital ini.
-- Masri Sareb Putra, M.A.