Rahmat Nasution Hamka Jelaskan Filosofi "Huma Betang"

Rahmat Nasution Hamka, huma betang, Dayak, filosofi, tetap hidup

Rahmat Nasution Hamka: Untuk martabat dan kemuliaan Dayak.

Huma Betang dan Ikatan Sosial yang Kokoh di Kalangan Dayak. Sudah tentu itu. Bukan hanya wacana Sebab dihidupi ratusan tahun lamanya. Meski bilangannya tinggal menghitung jemari tangan, adat budaya huma betang masih mentradisi. Hingga hari ini. 

Sebagai nilai, falsafah Dayak, huma betang tak pernah mati. Ia hidup dalam adat budaya orang Dayak.

Semakin Dayak merasakan gangguan terhadap kehormatan dan harga diri mereka, semakin kuat pula ikatan sosial yang menyatukan mereka. Sejarah mencatat peristiwa-peristiwa dramatis seperti Tumbang Anoi 1894, kerusuhan sosial di Sambas, dan kejadian-kejadian lainnya seperti di Sampit.

Kini, Dayak menunjukkan solidaritas dan kebersamaan yang mengesankan. Mereka menjadi satu suku bangsa yang saling mendukung, kompak, dan memiliki rasa kekeluargaan yang kuat.

Dalam sebuah pernyataan sikap yang diwakili oleh Rahmat Nasution Hamka, seorang kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang mewakili Dapil Kalimantan Tengah, di Ruang Komisi III DPR, Senayan, disebutkan bahwa inilah inti dari filosofi "huma betang." Rahmat Nasution Hamka adalah politisi muda PDIP di Kalimantan Tengah dan Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah PDIP Provinsi Kalimantan Tengah.

Filosofi "Huma Betang" dan Maknanya
Huma betang adalah istilah yang merujuk kepada rumah komunal tradisional manusia Dayak. Disebut juga "panjang" karena terdiri dari sejumlah rumah yang tersambung satu sama lain, menciptakan satu struktur rumah komunal yang dihuni oleh keluarga-keluarga dengan garis keturunan yang berbeda.

Huma Betang memiliki beberapa bagian penting, dan di dalamnya terdapat beberapa rumah lagi. Meskipun ada pemisahan antar-rumahtangga dengan dinding, terdapat koridor panjang yang berfungsi sebagai ruang bersama untuk interaksi komunal.

Komunitas di dalam huma betang dapat terdiri dari satu atau beberapa rumah, dengan setiap rumah tangga dapat memiliki privasi dengan dinding pemisah. Namun, koridor panjang selalu tersedia untuk interaksi komunal.

Ketika kita berbicara tentang "Masyarakat Adat" dan "Suku Terpencil," mungkin terlihat seolah-olah kedua istilah tersebut sama. Namun, sebenarnya, keduanya sangat berbeda.

Masyarakat adat adalah komunitas yang masih memiliki ikatan sosial yang kuat berdasarkan kesamaan genealogis. Mereka mewarisi tradisi dan budaya nenek moyang mereka. Di sisi lain, "suku terpencil" adalah komunitas yang lebih kecil, sering kali terpinggirkan dan tertutup. Dayak adalah bagian dari komunitas adat yang besar, terdiri dari 405 subsuku yang sebenarnya satu, yaitu orang asli Borneo. Mereka dikenal sebagai "indigenous people of Borneo" dan disebut sebagai autokton atau binnenlander oleh para peneliti untuk membedakannya dari pendatang.

Masyarakat adat di kalangan Dayak memainkan peran penting dalam sejarah dan perkembangan mereka. Terlepas dari berbagai tekanan dan perubahan zaman, kelembagaan adat di tingkat desa hingga nasional, serta hukum adat yang masih berlaku bersama hukum positif, membuat etnis Dayak, yang memiliki populasi sekitar 7,8 juta di seluruh dunia, tetap terikat dalam ikatan sosial yang kuat.

Meskipun Dayak tersebar di berbagai tempat, filosofi "huma betang" tetap menjadi perekat mereka. Mereka merasa satu dengan yang lain, seperti tubuh yang merasakan sakit jika salah satu anggota tubuhnya terluka.

Dalam hal masalah yang menyangkut ranah pribadi, mungkin terjadi perbedaan pendapat. Namun, ketika menghadapi ancaman terhadap kehormatan dan harga diri Dayak, etnis ini bersatu sebagai satu kesatuan yang kuat. Filosofi "huma betang" yang diungkapkan oleh Rahmat Nasution Hamka menerangkan makna penting ini.*)




LihatTutupKomentar