Kaltara Rumah Kita: Visi yang Memandang Provinsi Bukan Sekadar Geopolitik
Seorang
pemimpin yang piawai orasi, salah satu saluran menyampaikan gagasan dan
motivasi, luar biasa, diingat dan dikagumi banyak orang pada waktu itu. Tidak perlu mencari contoh ke
luar, di kalangan suku bangsa Dayak, ada. Yaitu Oevaang Oeray, Gubernur
Kalimantan Barat (1960-1966).
Akan tetapi, pemimpin yang piawai orasi dan seorang penulis; akan dikenang sepanjang masa. Nama dan pemikirannya, abadi. Hal itu karena apa yang diucapkan berlalu, namun yang dituliskan, abadi. Contohnya Tjilik Riwut, gubernur Kalimantan Tengah (1958 – 1967). Buku, karya tulis, serta manuskrip Riwut kini menjadi semacam acuan bagi para peneliti dan penulis terkait topik Dayak dan Kalimantan Tengah karena yang menulis saat itu, belum ada.
Adakah gabungan kedua tokoh Dayak legendaris di atas, yang selain mahir orasi, juga seorang penulis?
Memang ada!
Dia adalah Dr. Yansen Tipa Padan, M.Si. Sosok tinggi besar yang dikenal lebih sebagai penulis dan intelektual, meski meniti karier sebagai birokrat sejak camat, Sekda, asisten gubernur, Bupati, dan kini Wakil Gubernur Kalimantan Utara.
Buku ini ditulis, dan dipublikasikan Yansen, sebelum akan maju pada Pilgub/Wagub Kaltara.
Yang menarik adalah bahwa bukan terutama konten buku ini menenkankan bagaimana "meraih kekuasaan", melainkan pada bagaimana menjadikan wilayah, teritori, dan geopolitik bukan sekadar wilayah kekuasaan dan pemerintahan; namun lebih dari itu menjadi: rumah kita. Artinya, suatu tempat yang bikin setiap warga merasa: at home, nyaman, aman, dan tentram.
Ini angle, sisi menarik yang menjadi novelty buku. Sekaligus membedakan konten dan sudut pandang seorang Yansen dibandingkan penulis lain. Sedemikian rupa, sehingga melahirkan judul yang pas dan sempurna untuk buku ini.
Rumah adalah tempat tinggal kita sebagai manusia yang beradab dan berbudaya. Setiap orang mengidamkan tempat tinggal yang nyaman, aman, damai, mendapat kasih sayang, lagi penuh dengan berkat dan kelimpahan. Pertama-tama, rumah bukanlah soal seberapa luas dan mahal bangunannya dan terletak di kawasan mana.
Akan tetapi, rumah adalah soal seberapa nyaman dan amannya kita tinggal di dalamnya. Orang bisa saja membangun rumah, namun bukan sebuah tempat tinggal yang nyaman. Oleh sebab itu, ada ungkapan, “You can build a house, not a home”.
Home berarti:
betah, nyaman, aman; mengandaikan setiap anggota adalah sebuah keluarga di mana
masing-masing terikat dan mengikatkan diri dalam sebuah ikatan bukan saja
emosional, melainkan juga sebagai organ yang saling menopang dan bekerja dalam
satu kesatuan tubuh yang sama; saling menjaga satu sama lain, menghormati, dan
berbela rasa.
Siapakah yang mengusahakan dan menciptakan rumah bersama
yang ideal seperti digambarkan di atas? Bukan hanya ayah dan ibu, atau anak
sulung dan orang yang dituakan saja, melainkan tugas setiap anggota keluarga.
Begitulah yang dibayangkan Kalimantan Utara adalah “rumah kita bersama”. Setiap orang yang ada, dan berada dalam rumah bersama ini, terikat dalam ikatan keluarga yang menghidupi norma, nilai-nilai, adat istiadat, kebiasan, perilaku, dan tujuan bersama yakni hidup rukun dan damai untuk mencapai kesempurnaan.
Konten buku ini menenkankan bukan pada bagaimana "meraih kekuasaan", melainkan pada bagaimana menjadikan wilayah, teritori, dan geopolitik bukan sekadar wilayah kekuasaan dan pemerintahan; namun lebih dari itu menjadi: rumah kita. Artinya, suatu tempat yang bikin setiap warga merasa: at home, nyaman, aman, dan tentram.
Tujuan hidup manusia bukanlah pertama-tama untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, seperti: makan, minum, sandang, pangan, dan papan
saja; melainkan untuk memenuhi kebutuhan rohani yakni menuju kebahagiaan abadi
di surga dengan cara hidup yang baik.
Disebut “rumah” juga ingin menyadarkan
kepada siapa saja, baik penghuni saat ini maupun pendatang yang menginjakkan
kaki di bumi provinsi termuda Indonesia ini bahwa Kaltara adalah rumah, tempat hidup bersama, setiap warganya
mendapatkan kehidupan, kasih sayang, rasa aman, kedamaian, ketenangan, dan perlindungan.
Masalahnya adalah bahwa dalam konteks kepemimpinan yang terjadi, para perancang dan pelaku pembangunan di sini belum berpikir bahwa Kaltara memiliki keberagaman yang sangat luar biasa. Yang ideal adalah bahwa setiap napas dan dinamika gerak pembangunan suatu provinsi hendaknya mencerminkan Indonesia.
Kaltara, ditilik
dari suku bangsa sebagai warga masyarakat yang mendiaminya, adalah Indonesia mini. Terlepas siapa penguasa,
harus paham akan ini. Tidak bisa, dan tidak boleh, pemimpin di dalam membangun menafikan
nilai-nilai keIndonesiaan yang menjadi jiwa dari bangsa ini, suatu semangat dan
kehendak yang merasuk dalam hati.
Jika berbicara tentang Indonesia, maka tidak pernah ada persoalan dengan perbedaan-perbedaan. Perbedaan adalah kekuatan sebagaimana semboyan bangsa Indonesia yang tertulis pada lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, Garuda Pancasila.
Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuno yang berarti: “Walau
berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Jika semua orang paham bahwa Kaltara adalah rumah, maka
tiang penyangganya bukan hanya satu, melainkan banyak. Makin penyangganya
banyak, makin kokohlah pondasi suatu bangunan. Sehingga perbedaan-perbedaan itu
kuat, aneka suku bangsa itu kuat. Masalah
Kaltara adalah bahwa di dalam proses dan dinamika pembangunan, cenderung
menghilangkan simbol-simbol ini.
Kaltara adalah rumah kita, sehingga di dalamnya tinggal dan
hidup bukan hanya bapak, dan ibu. Bagaimana membangun rumah yang harmonis? Harus
tahu lebih dahulu siapa dan bagaimana karakter, serta apa kebutuhan seluruh isi
warga rumah itu. Baru setelah itu, bicara tentang harmonis.
Hidup harmonis dalam sebuah keluarga, sudah pasti, diandaikan adanya komunikasi yang baik dan efektif. Tahu apa esensi yang kita bangun dalam keluarga, bukan hanya ayah dan ibu.
Semuanya harus tahu kebaikan-kebaikan bersama yang hendak kita bangun
itu. Kalau ingin berbuat baik, jangan tanya-tanya lagi, buat saja. Untuk bisa
berbuat baik, harus sekolah dan pandai atau terampil. Sisi tahu dan mampu
inilah yang perlu terus-menerus dibangun dan diberdayakan agar setiap warga
berbuat sesuai dengan fungsi dan perannya masing-masing.
Membangun “rumah Kaltara” adalah membangun Indonesia. Label pembangunan kita adalah nasional: Nasionalis kebangsaan. Oleh sebab itu, seorang pemimpin sejati adalah yang berbicara dan memimpin sebagai orang Indonesia.
Pemimpin membangun Indonesia. Siapa pun saja, agama apa pun saja
dia, tetap dia harus bawa nilai dan esensi keindonesiaan ini. Yang mengubah:
nilai-nilai keindonesiaan, bukan nilai kelompok dan golongan. Potensi semua
komponen dan suku bangsa diberdayakan, saling menerima, bekerja sama, saling
membantu, saling memberi, saling menerima.
Demikianlah konsep dasar buku “Kaltara Rumah Kita” ini adalah narasi tentang sebuah rumah tinggal yang harmonis semua suku bangsa dalam bingkai dan jiwa NKRI.
Seorang pemimpin akan merekat semua pusparagam dan aneka warna pelangi dan membangkitkan semuanya dalam setiap dinamika dan derap langkah pembangunan. Sedemikian rupa, sehingga menjadikan Kaltara seperti Pelangi, yang tumbuh dengan keindahan dan memancarkan warna pesonanya masing-masing. *)