Kamus Dayak yang Kian Menggeliat

Dayak, nama kolektif yang oleh Hogendorph (1757) disebut sebagai "binnenlander". Yakni  etnis asli dari sini dan dari tempat Borneo dan tidak dari mana pun --untuk memilahnya dengan suku pendatang. Etnis yang ditengarai total populasinya saat ini sirka 7 juta itu, unik. Terdiri atas 7 stammenras (rumpun besar) dan 405 subetnis.

Dalam upaya mengabadikan, sekaligus menginventarisasikan salah satu ujud kebudayaan (bahasa) Dayak, Penerbit Lembaga Literasi Dayak (LLD) bekerja sama dengan Penerbit bernuansa Dayak lainnya Sinar Bagawan Khatulistiwa --yang bermarkas di kota cantik Palangka Raya-- menerbitkan sebilangan kamus etnis Dayak.

Apa yang harus dikatakan melihat gairah sekaligus geliat penerbitan kamus Dayak akhir-akhir ini? Tak lain tak bukan, kalimat inilah dia!

Buruk-buruk papan jati. Tak ada kamus yang tak berguna. Sebab,  dalam perspektif waktu, para penyusun bukan telah menyusun kamus, melainkan: menulis sejarah yang tidak akan mungkin hapus dari muka bumi ini.

Kamus, menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah, “Buku acuan yang memuat kata dan ungkapan, biasanya disusun menurut abjad berikut keterangan tentang makna, pemakaian, atau terjemahannya” (http://kamusbahasaindonesia.org/kamus). Adapun kata, atau frasa, masukan dalam kamus di luar definisi atau penjelasan lain yang diberikan dalam entri disebut lema.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, telah lama ada. Edisi perdananya, terbit tahun 1988. Seperti diketahui, edisi pertama merupakan hasil pengembangan dari Kamus Bahasa Indonesia yang terbit pada tahun 1983. Kamus ini baru memuat 62.100 lema.

Toh demikian, kamus bahasa etnis di Indonesia, yakni bahasa asli dari bangsa/suku asli, belum semuanya ada. Padahal, keberadaannya tak kalah penting dibandingkan Kamus Bahasa Indonesia.

Menurut Sensus Badan Pusat Statistik (2010), terdapat 1.340 suku bangsa di Indonesia. Hingga saat ini, belum semua suku bangsa mempunyai kamus etnik, apalagi kamus sub-etnik yang jumlahnya jauh lebih banyak. Hal itu disebabkan, antara lain belum adanya munsyi atau pakar bahasa yang berkanjang di dalam kerja mengumpulkan lema, mengurutkannya sesuai abjad, dan menelitinya dengan saksama termasuk rumpun bahasa apa dalam khasanah penggolongan etnik dan bahasa-bahasa di dunia.

Akan tetapi, geliat ke arah sana sudah mulai tampak. Seiring kemajuan peradaban, dan semakin tingginya pengetahuan dan tingkat pedidikan suatu etnik, kamus menjadi keniscayaan. Apalagi, di era globalisasi, bahasa yang menunjuk pada identitas penuturnya, semakin tergerus. Interaksi dengan orang luar penutur, pengaruh bahasa asing, menjadikan bahasa suatu etnik kian pudar ciri keasliannya. Dalam hal ini, ciri arkhais, atau keaslian, dapat ditelusuri berdasarkan kelompok atau persebaran penuturnya.

Sudah menjadi rahasia umum, ada bahasa yang mati, sekaligus menenggelamkan penutur dan mengubur sejarah sebuah etnis. Malangnya, jika bahasa tersebut tidak ada yang mengabadikannya dalam bentuk tulisan (kamus) dianggap tidak pernah ada di muka bumi ini.

Sebaliknya, banyak bahasa yang meski mati tidak ada penuturnya, tetapi masih “hidup” dan di dalam kamus ditandai dengan tanda tertentu untuk menunjuk kepada bahasa yang sudah mati, atau posklasik.

Sebagai contoh: Bahasa Semit, Yunani koine, juga bahasa Latin meski jarang dipertuturkan, tetapi dipelajari sebagai bahasa ilmu sebagai clue kepada berbagai sumber ilmu pengetahuan dan peradaban umat manusia sepanjang segala abad.

Adapun bahasa yang hidup ialah yang dari hari ke hari bertambah kosa katanya, baik melalui proses serapan maupun melalui bentukan kata baru yang dianggap atau beradaptasi dengan bahasa lokal atau yang dianggap bahasa etnis itu sendiri.

Tidak ada orang lain, selain penutur asli, atau pakar bahasa etnis itu sendiri yang diharapkan bisa menyusun kamus bahasa suatu etnik.

Tidak ada yang sukar, apalagi mustahil, di dalam menyusun kamus bahasa. Yang dibutuhkan hanyalah ketekunan. Kesabaran untuk duduk menghimpun sepatah demi sepatah kata, menyusunnya dalam senarai berdasarkan abjad, ditambah sedikit keterampilan  di dalam olah intelektual.

Orang menjadi ahli bukan karena punya talenta luar biasa, melainkan kumpulan kebiasaan sedikit demi sedikit, melakukannya dengan konsisten dan persisten. Dan itulah yang dilakukan para penyusun kamus etnik ini.

Kamus Bahasa Daerah Komering Rasua, Kamus Dayak Ngaju – Indonesia dan Dayak Bakumpai - Indonesia, Kamus Bahasa Madura-Indonesia, Kamus Batak Toba – Indonesia misalnya, merupakan contoh geliat kebangkitan perkamusan etnik. Dahulu kala, membuat kamus tidak mudah karena alat masih serba manual.

Kini, dibantu alat kerja yang canggih dan software yang mendukung; menyusun kamus selain memerlukan pengetahuan dan pemahaman, diperlukan ketemukan dan kemauan.

Meski demikian, menyusun sebuah kamus, tetapkah pekerjaan yang pertama-tama menuntut ketekunan. Inilah yang tidak semua orang bisa melakukannya.

Terlepas dari kekurangannya, patut disambut hangat terbitnya kamus bernuansa etnik. Momentum terbitnya pas betul, terutama bertautan dengan Permendikbud Nomor 8 Tahun 2016 yang memberikan ruang bagi satuan pendidikan dan perpustakaan sekolah-sekoah diwarnai dan diisi degan muatan lokal. Salah satu yang paling dianjurkan ialah: bahasa lokal.

Dan kamus bahasa etnik lokal ibarat pucuk dicinta ulam tiba. Para penyusun, dalam hal ini, memberi kontribusi luar biasa pada pembangunan identitas dan keanekaragaman suku bangsa di tanah air yang menganut asas "bhineka tunggal ika".

Dalam perspektif waktu, para penyusun bukan telah menyusun kamus, melainkan: menulis sejarah yang tidak akan mungkin hapus dari muka bumi ini.

LihatTutupKomentar