Dayak Menulis dari Dalam

Suatu sore, jelang senja. Pertengahan tahun 2018. Sembari menyiapkan naskah buku Dr. Yansen TP dan Ricky Ganang Dayak Lundayeh Idi Lun Bawang. Di Rujab Bupati Malinau. Dr. Yansen dan saya berpikiran demikian: Hari ini kita jangan lagi selalu mengutip, melainkan: Dikutip. Jangan lagi diwarnai (ditulis), melainkan: menulis.

Dayak harus menulis dari dalam! Karena kita yang paling tahu siapa diri kita yang sesungguhnya. Maka, persiapan sekitar dua hari. Kami menulis narasi mengenai "Jejak Peradaban Manusia Sungai Krayan" untuk konten Wikipedia.

Wikipedia bertanya: Mengapa disebut "peradaban"? Tidak mudah terminologi "peradaban" disematkan pada suatu kaum/ klan. Kami menjelaskannya. Dan Wikipedia bersetuju, dengan agumen kami.

Maka terbaca, dan abadilah, karya kami berdua tentang Manusia Sungai Krayan oleh jejak digital, literasi, sebagai berikut:

https://id.wikipedia.org/wiki/Peradaban_manusia_di_Sungai_Krayan

Dapat diimbuhi lagi, sebab Wikipedia kontennya terbatas sekali.

Siapa yang dimaksudkan dengan “manusia penghuni Sungai Krayan?”

Jawabannya, tentu saja, bergantung kepada “kapan”? Apakah manusia penghuni Sungai Krayan zaman prakemerdekaan? Masa Indonesia Merdeka? Zaman Konfrontasi? Zaman Reformasi? Atau masa kini?

Dr. Yansen TP dan saya berpikiran: Hari ini kita jangan lagi selalu mengutip, melainkan: Dikutip. Jangan lagi diwarnai (ditulis), melainkan: menulis.

Itulah yang berusaha dijawab dalam buku setebal 320 halaman. Yang sedianya pra-launchingnya diadakan di sela acara Batu Ruyud Writing Camp (27 Okt. - 3 Nov. 2022). Kedua penulis akan presentasi serba-ringkas saripati buku. Untuk memperkaya. Sekaligus membekali peserta dengan informasi dan data yang akurat tentang sejarah, mitos, legenda, demografi, geografi, serta seisi The Heart of Borneo, lengkap dengan jejak histori budaya batu yang ditinggalkannya.

Seiring dengan perubahan sosial dari masa ke masa, manusia penghuni Sungai Krayan juga berdinamika. Jika pada masa prasejarah, manusia penghuni Sungai Krayan adalah komunitas yang homogen.

Mereka memiliki peradaban yang cukup tinggi, terbukti dari temuan artefak berupa peninggalan alat-alat pertanian, teknologi pertanian, serta tempayan batu yang ditemukan di desa Long Mutan dan di Long Padi, Krayan Tengah. Demikian juga kuburan kuno nenek moyang manusia Sungai Krayan di Tang Paye yang mengindikasikan bahwa kebudayaan batu telah dikenal nenek moyang sejak zaman dahulu kala.

Lalu pada zaman prakemerdekaan, datang Misi The Christian Missionary Alliance (CMA) pada tahun 1929 ke bumi Krayan. Ketika itu, telah dikenal adanya  klan utama manusia penghuni Sungai Krayan, yakni: Lengilo’, Tanah Lun, Nan Ba’, Puneng Krayan atau Fe’ Ayan, dan Sa’ban. Tiap-tiap klan, yang kemudian hari berkembang menjadi sub-etnis Dayak Lundayeh makin lama semakin bertambah. Seiring dengan waktu, mereka “menguasai” tanah adatnya masing-masing.

Pada masa Indonesia Merdeka, isolasi dan keadaan bumi Krayan, dibandingkan dengan kondisi yang sekarang, tidak banyak  berubah.  Menurut  penuturan para tetua yang masih hidup, di samping karya negara, maka kehadiran Misi dan yang relatif banyak “mengangkat derajat hidup” masyarakat lokal.

Hampir seluruh lapangan perintis di Perbatasan, semuanya dibidani dan dilayani oleh Penerbangan MAF (Mission  Aviation Fellowship). Ini adalah sebuah armada penerbangan yang dilayani oleh Misi. Memang sangat tidak enak untuk memaparkan hal seperti ini, akan tetapi itulah fakta yang sebenarnya.

Telah mulai banyak penduduk setempat yang mengenyam pendidikan berkat karya serta fasilitas yang diberikan Misi. Hasilnya adalah para guru dan pendeta. Mereka ini adalah para agen pembaruan di bumi Krayan nantinya.

LihatTutupKomentar